Cerpen Atheis

Mencari Tuhan

Cerpen Atheis
ilustrasi dari unsplash.com
oleh Syarifah Lestari


            Lagi, Adin mengempas bukunya. Segala kertas dan buku berserak di bawah meja. 
“Jangan bilang kau mulai terpengaruh candu itu, Kawan!” Roni menyapu pandangannya pada serakan di lantai, tanpa niat memunguti.
“Entahlah, tapi aku mulai berpikir. Benar bahwa manusia membutuhkan agama untuk mengatur hidupnya.”
“Omong kosong. Di penjara dunia ada banyak ulama dan pendeta, di istana-istana ada pemabuk dan biang onar. Tidak ada jaminan agama bisa menyejahterakan penganutnya.”
Adin memejamkan mata, tapi telinganya menyimak betul apa yang disampaikan teman sekantor dan sekamarnya itu.
“Percayalah pada dirimu sendiri. Tidak ada Tuhan, tidak ada aturan, tidak ada batas. Hidup hanya sekali, nikmati sebelum kau mati dalam keadaan rugi!”
Adin terdorong ke belakang setelah Roni menekan dadanya dengan telunjuk, sebelum kemudian berlalu meninggalkan kamar.
“Aku justru tidak ingin mati dalam keadaan rugi,” Adin mendesah.


Suasana temaram. Lilin gemuk merah menyala sekujur badan berdiri di tengah ruangan. Dua patung singa dengan mulut menganga mendampingi arca raksasa sebatas kepala. Relief naga menyelimuti hampir seluruh dinding. Jauh dari hingar bingar.
“Perbuatan baik, akan dibalasi dengan kebaikan pula. Ada dua unsur yang memengaruhi manusia ….”
Adin menyimak dengan baik, tapi konsentrasinya buyar akibat pemandangan asing di sekitarnya. Yang pada akhir nasihat, ia hanya mampu merekam wajah tenang dengan senyum yang tak kenal pudar itu.
“Terima kasih, mudah-mudahan di waktu lain saya bisa kembali ke tempat ini.” Adin pamit.
Dua singa yang semula menganga, mengatupkan rahang dan membukanya kembali berulang-ulang, terbahak entah untuk apa. Cakar-cakar naga bergetar, matanya merah mengawasi, sementara lilin gemuk masih berdiri di tengah ruangan. Yang tersisa hanya aroma dupa, mengisi ruang hati Adin yang kian sempit karena belum menemukan yang dicari.
“Ke mana lagi, Pak?” Sopir taksi menyembulkan kepala dari jendela sebelah kemudi.
“Pura.”

“Hal ini dilakukan oleh seluruh masyarakat kita.”
“Tapi saya tidak,” Adin menggeleng.
“Maksud saya, hampir seluruh masyarakat.”
“Bukankah ini sama dengan berfoya-foya? Bagaimana jika diberikan saja baik-baik pada orang miskin?”
“Kurang terasa berkahnya, Nak.”
“Kurang berkah atau kurang gereget?”
“Apa itu gereget? Ini tidak hanya dilakukan oleh kami, bahkan orang-orang Islam yang terkenal ketat aturannya juga melakukan hal serupa.”
“Orang Islam yang mana?”
“Di mana-mana. Karena ini adalah warisan nenek moyang.”
“Jadi, ini budaya atau agama?”
Adin melangkah cepat meninggalkan sekumpulan manusia yang sedang menjunjung makanan dan buah-buahan di kepala mereka. Puluhan penganut agama itu hendak melarung ke laut, mengucapkan terima kasih pada penguasa samudra atas karunia yang maha.

Bangku panjang berderet tertib hingga ujung ruangan. Di depan, sebuah podium berdiri elegan tepat di tengah. Panggung dengan tiga anak tangga berkarpet merah menandakan hanya orang terkasih bisa menyampaikan wejangan, di depan para domba yang memenuhi kursi.
Adin antusias menanti saat-saat peribadatan.
Lalu nyanyian dimulai, pujian dan khutbah disampaikan. Dan Adin berulang-ulang melirik Casio di tangan. Ia persis seperti pasien di waiting room, di atas bangku panjang, sembari menyaksikan pertunjukan dalam gedung beratap tinggi.
Adin pulang.

Roni terkekeh di pinggir tempat tidur. “Sudah dapat, Kawan?”
“Ya, tapi sekadar motivasi hidup. Tanpa sandaran apa-apa. Intinya sama, berbuat baik dan meninggalkan keburukan.”
“Benar kan. Tanpa mengaji atau meditasi pun, semua orang tahu itu. Dan dia tetap teori yang tak dipraktikkan bahkan oleh para pendakwahnya sekali pun.”
“Memang. Aku melihat mereka menjadi rahib hanya ketika berada di rumah Tuhannya. Di luar itu entahlah.”
“Sebentar,” Roni memotong. “Aku pernah bertemu seseorang yang menurutku cukup menarik.”
“Perempuan?”
“Laki-laki. Muslim.”
“Aku sudah berkali-kali ke masjid. Seluruh kartu identitasku pun menerakan Islam di sana. Tapi aku yakin telah dikeluarkan dari agama itu, karena tak suka salat dan benci puasa.”
“Dia beda. Toleransinya tinggi. Bertemu dengannya, tak akan membuatmu terbebani oleh nasihat dan anjuran ibadah. Semua simpel.”
“Kau yakin dia Muslim?”
“Sangat. Istrinya memakai selendang, dan ia terbiasa mengenakan peci.”
“Selendang dan peci itu pakaian nasional, Ron.”
“Oke, tapi ia tidak bersorban, dan istrinya tidak mengenakan jilbab yang rapat karena menghargai keberagaman itu. Dengan peci, ia berada di tengah-tengah jemaat gereja, bayangkan jika ia bersorban dan berjubah!”
Roni dan Adin terbahak.
“Dan aku tahu, jika kedinginan, istrinya tinggal melilitkan selendang ke lehernya. Tanpa peduli sanggulnya terbuka,” tambah Adin.
“Ya, kau pintar!”
Terbahak lagi.

Suasana hingar bingar. Asap rokok tak beradab melecehkan tanda larangan berwarna merah di bawah mesin pendingin. Lukisan setengah dan telanjang penuh tertata tak beraturan di seluasan tembok. Mereka menyebutnya seni.
Seniman dan sastrawan ngerumpi dengan bahasa jalang, sebagian memangku laptop mengetik kata-kata baru untuk menciptakan kalimat yang paling seronok.
Adin menunggu seseorang dengan keluasan ilmu agama tapi sangat toleran dengan segala kebiadaban. Namanya Mumu. Kata Roni ia berkacamata, steorotip orang cerdas.
Adin berkeliling, menyaksikan kebebasan berekspresi yang kata Mumu melalui telepon, sangat dijamin oleh Nabi. Penantian yang sama sekali tak membosankan, karena waktu yang berjalan terpenuhi penampilan teater bertema bajingan, sajak-sajak menyoal undang-undang susila, dan latihan atau pementasan drama tentang nikmatnya berpesta.
Belum lagi puas menikmati, seseorang mendekati Adin. Dialah Mumu, persis seperti yang Roni sampaikan. Berkacamata. Berkumis tebal tanpa janggut. Ada lubang tanpa anting di telinga kanannya.
“Atas nama Tuhan segala agama, Anda datang ke tempat yang paling tepat.”
Keduanya langsung akrab.


Kamu punya cerpen bagus? Kirim ke sini ya!

No comments