Cerpen Berlatar Sungai Bahar, (proyek kadal Kemenparekraf)

Sebelum baca, tolong pahami ya, Cuy. Ini cerpen jadul, pake banget. Diikutkan pada akhir FGD oleh Kemenparekraf, sekira 2012 atau 2013. Janjinya, cerpen-cerpen yang masuk akan diseleksi, kemudian dijadikan antologi nusantara (atau yang semacam itulah). Gak taunya, Bos. Dikabari aja nggak, tau-tau ada kawan yang bawa buku isinya ada cerpenku. Alih-alih dibayar atau sekadar dikirimi bukti cetak. Ah sudahlah.

Jadi mungkin beberapa hal gak relevan di masa sekarang. Seperti soal sinyal, soale orang Bahar sudah pakai WA, dan bisa chatting real time. Kemudian soal kaya karena sawit, dulu kan harganya memang masih tinggi. Intinya, nikmati ajalah! Gretong ini!


L A R I !

 Cerpen Berlatar Sungai Bahar, proyek Kemenparekraf)
ilustrasi dari unsplash.com

cerpen Syarifah Lestari

Tiba-tiba pintu didobrak! Yusril terdiam, bingung. Tapi kemudian panik karena Saminah entah kenapa berteriak seperti orang ketakutan. Gadis itu menarik kain yang sejak tadi tergeletak di sampingnya, menutup kain itu ke dada, dan menangis seperti orang yang tertangkap basah melakukan perbuatan tak layak.
Belum habis kebingungan Yusril, sebuah tinju mendarat di wajahnya, disusul kepalan-kepalan lain yang berhasil ditahan beberapa dari mereka sendiri. Lalu ruangan riuh oleh celaan orang-orang yang tiba-tiba saja telah memenuhi rumah Saminah.
***
Mungkin Yusril bukan anak baik atau mahasiswa yang cerdas. Ia hanya meneruskan tradisi leluhur, merantau ke tanah orang untuk pulang sebagai pemenang. Maka nasib melemparkannya ke tanah Jambi yang konon, oleh Tuhan telah diberkahi*.
Burung pipit bersikejar di kabel-kabel listrik tengah kota, awan putih menggumpal merata, perlahan-lahan menyusul matahari ke barat. Di kolong langit yang sebelumnya memanas hebat itu, Riani bersandar mesra pada Yusril yang sebenarnya telah berulang kali menunjukkan keberatannya. Sepeda motor merapat ke parkiran, tapi gadis itu tak mengendurkan pelukan.
“Kenapa, Bang? Hari gini pacaran di depan umum sudah biasa.”
Tapi ini masih kota kecil, tak enak dilihat orang,tolak Yusril.
Riani justru makin merapatkan bagian depan tubuhnya pada punggung Yusril, kepalanya menyisip ke bahu kanan pria jangkung itu. “Abang jadi ke Bahar?”
Yusril mengangguk.
“Sebentar saja, kan? Belum pergi saja aku sudah rindu.”
“Tenanglah, aku hanya menagih utang. Begitu uang itu kudapat, aku akan segera kembali.”
“Sudah kubilang, aku punya banyak untukmu.” Riani menggelayut manja. “Tak perlu ditagih utang itu, anggap saja aku yang bayar.”
Yusril diam. Cerita utang hanya siasat. Dalam bulan-bulan yang sama dengan perjalanan cintanya, Yusril punya banyak cinta lain, yang membuatnya harus hati-hati berperilaku. Termasuk saat berdua dengan Riani seperti sekarang. Ada banyak mata di kota sekecil Jambi.
Salah satunya, seorang yunior Yusril di kampus. Ia tak butuh hati untuk seluruh cintanya, Yusril punya cita-cita yang jauh lebih besar dari sekadar asmara atau bahkan rumah tangga.
Adalah Saminah, gadis penggemar sinetron yang tergila-gila pada Yusril. Meski sangat tidak cantik, ia punya segalanya. Jangan tanya soal materi, ia anak orang terpandang di kampung. Orang tua Saminah adalah keluarga yang terdaftar sebagai transmigran dari Pulau Jawa ke Sumatra puluhan tahun silam. Mereka mendapat jatah sebuah rumah dan sepetak kebun sawit di Sungai Bahar, salah satu kecamatan di sebuah kabupaten yang padat dengan berhektar-hektar hutan sawit.
Dalam waktu beberapa tahun, orang tua Saminah berhasil memperluas kebun sawitnya, pulang-pergi ke tanah kelahiran di Jawa, dan dijamin mampu menyekolahkan anaknya setinggi yang mereka mau.
Tapi jangan tanya Saminah tentang nilai kuliahnya, jangan pernah.
“Jadi membeli oleh-oleh?” Tanya Yusril pada Riani yang masih betah mendekapnya.
“Iya,” jawab gadis labil itu malas. Kemudian dengan gerakan sangat lambat ia turun dari sepeda motor.
Yusril memandangi langkah Riani yang melenggok dibuat-buat untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Tak ada setitik pun cemburu di hari Yusril, bahkan jika ditelurusi hingga ke palung dadanya.
Sekeranjang buah yang ditata apik berpindah dari tangan Yusril ke Saminah. Wajah gadis itu berseri-seri, sangat bahagia. Kedua orang tua dan tiga adiknya telah pula dipersiapkan untuk menyambut kehadiran calon anggota keluarga yang baru.
Sambutan tuan rumah yang terlalu berlebihan, membuat Yusril gugup. Tak menyangka akan demikian istimewa ia diperlakukan.
“Kemari, ini kamar Nak Yusril,” kata Ibu Saminah sambil membuka pintu sebuah ruangan yang sudah ditata rapi dan wangi. Garis wajah perempuan yang sangat keibuan itu menjanjikan perlakuan terbaik terhadap siapa pun.
Yusril makin gugup. Ia hanya datang untuk bertandang barang dua tiga jam, tidak berniat menginap. Janjinya pada Riani, yang menyiapkan oleh-oleh di kota tadi, tak boleh diingkari. Riani gampang menangis dan sulit melupakan kesalahan orang.
“Tapi …” Yusril terbata.
“Abang belum bayar uang semester, kan?” Saminah berbisik. “Ayahku baru bisa memberi nanti malam, setelah seluruh sawit minggu ini usai ditimbang.”
Yusril mengangguk patuh. Ia benci keadaan ini, tapi menikmatinya adalah satu-satunya jalan yang tersedia. Tas ransel ia letakkan di samping tempat tidur ukuran sedang yang nyaman. Ia beristirahat sejenak di atas kasur, menyandarkan bahu di kepala tempat tidur. Di sebelahnya, sebuah jendela besar terbuka sempurna menghadap kolam buatan, di atas kolam ikan dibangun kandang ayam berupa rumah-rumah kecil yang saling menggandeng.
Yusril merogoh saku celananya, lalu menggerutu saat melihat layar ponsel yang tak menampilkan nama perusahaan operator langganannya. Berarti tak ada sinyal, tak ada layanan.
Saminah menyusul masuk ke kamar, duduk bersebelahan di atas tempat tidur yang sama. Larik-larik jingga melukis kanvas langit di jendela, lukisan abstrak itu mengantar hari pada kematangannya. Menjadi gelap pertanda malam telah datang.
Sebuah ketukan menjeda obrolan Saminah dan Yusril, adik Saminah masuk mengantarkan makan malam, sesuai titah orang tua. Lalu keluar tanpa diminta, tak lupa menutup rapat pintu kamar tamunya. Obrolan berlanjut, Saminah menutup jendela karena nyamuk serta merta menyerbu mereka.
“Kita makan di luar saja,” pinta Yusril sembari membawa piringnya.
“Di sini saja, tak enak makan beramai-ramai di luar,” tolak Saminah.
“Terlalu temaram, tak terlihat apa yang dimakan.”
“Kalau tak terlihat, biar kusuapkan.” Suara Saminah mendayu manja.
Yusril tersenyum, Aku tidak saleh, tapi juga tidak buta, kata hatinya. Tapi Saminah jadi salah tingkah dengan senyum itu.
Suara televisi di ruang tamu melebihi biasanya. Tiga adik Saminah berjajar rapi di depan kotak penghibur itu, dengan ibu mereka sebagai operator, yang paling berkuasa memilih saluran. Ayah Saminah pamit pada istrinya, ke suatu tempat yang telah mereka sepakati kemarin.
Saminah membersihkan sisa makan tanpa beranjak dari kamar tempat ia dan Yusril beradu bincang. Obrolan yang sejak awal tak tentu arah kembali dilanjutkan. Sama sekali bukan obrolan mesra, keduanya saling tarik menarik tema, dan tak ada yang menang.
Yusril ingin membincangkan rencana melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi agar menjabat posisi lebih baik di pemerintahan, atau membuka usaha sendiri dan baiknya memetakan modal dari sekarang. Tapi Saminah lebih tertarik dengan jumlah anak yang bisa dihasilkan dan besaran modal nikah, yang menurut Yusril, lebih baik dibelikan emas batangan untuk investasi jangka panjang.
Tidak perlu kesepakatan untuk perbincangan yang semakin tidak menarik bagi keduanya. Mereka sama tak peduli pada maksud hati lawan bicara. Maka ujung dari tetek bengek makan dan bicara itu adalah keheningan.
Bersama bahana televisi yang mencapai isi kamar, deru napas adik-adik Saminah berkejaran memberi tanda, bahwa mereka telah pulas. Saminah menatap Yusril dalam.
Gerakan angin melambat di kamar tamu rumah Saminah. Sama sekali tak ada suara di dalamnya, kecuali langkah jarum jam dinding menyusuri angka-angka pada lintasannya. Tidak terjadi apa-apa, hanya gemuruh di dada Saminah yang melahirkan kemelut di kepala Yusril.
Lalu tiba-tiba, orang-orang yang entah dari mana menyerbu masuk!
***
Telah diputuskan, keluarga Saminah harus melakukan Upacara Cuci Kampung. Jika tidak, Saminah dan Yusril terancam diarak keliling kampung dalam keadaan tak berpakaian. Yusril menolak keras, karena ia dengan penuh kesadaran merasa tak melakukan apa pun. Namun yang mematahkan argumentasinya justru orang tua Saminah. Maka ketika Saminah mengingatkan biaya kuliah, Yusril kembali patuh. Ia akan diupacarakan, lalu dinikahkan dalam waktu dekat.
Upacara Cuci Kampung adalah budaya antah berantah yang terus dipraktikkan dengan alasan tak masuk akal; untuk menjauhkan balak disebabkan perbuatan amoral yang dilakukan di suatu tempat. Jika di banyak kasus, budaya dipolitisir. Maka Cuci Kampung adalah politik yang dibudayakan. Intinya adalah pajak dan bersenang-senang.
Seluruh biaya Cuci Kampung ditanggung orang tua Saminah. Yusril hanya diberi kewajiban mengakui dan patuh. Kewajiban ringan yang sungguh memberatkannya. Ada bayang-bayang warisan mertua yang cukup membuat hatinya berbunga. Tapi Yusril tak punya keberanian melepas gadis-gadisnya yang lain di kota.
“Nak Yusril akan betah tinggal di sini, saya jamin. Semua yang kamu butuhkan pasti tersedia. Termasuk barang-barang bagus yang hanya ada di kota, tinggal telepon seseorang di sana, nanti barang akan sampai ke rumah ini.” Ayah Saminah menenangkan calon menantunya yang masih nampak gundah di suatu pagi, dua hari berikutnya.
Mereka bertemu di halaman belakang rumah yang memamerkan sedikit saja kekayaan keluarga Saminah. Ternak dan sayuran dipagar rapi dalam halaman yang luas. Di sisi-sisi pagar, berjejer sepeda motor sebanyak jumlah penghuni rumah.
“Mau iPhone? Mobil? Bahkan kebun sawit, sudah saya siapkan untuk semua anak-anak saya,” tambah laki-laki lima puluhan itu.
Yusril mulai bosan dengan iming-iming keluarga Saminah. Karena baginya, setiap janji seperti lapisan dinding yang akan makin mengurungnya dalam kuasa mereka. “Bilang ayahmu, aku ingin sinyal!” Bisiknya pada Saminah yang terus setia di sisinya.
“Untuk apa sinyal, kita tak perlu undang kawan-kawan di kota.” Saminah malah menjawab bisikan itu dengan suara lantang.
“Aku juga tak ingin mereka tahu kita menikah,” balas Yusril.
“Tidak akan tahu sampai masa yang teramat lama.”
“Kenapa begitu?” Dahi Yusril berlipat.
“Karena kita akan tetap di sini. Barang-barangmu akan diganti oleh Ayah. Tak akan masalah, orang tuaku mampu mengganti sepuluh kali lipat.”
Ayah Saminah membenarkan, lalu pergi begitu saja.
Yusril mematung. Setengah mati mengatur ritme napasnya yang hendak meledak karena emosi. Dan ia berhasil. Tak berguna mendebat Saminah, gadis itu punya senjata yang sangat ia agungkan.
Aku punya cita-cita yang jauh lebih besar dari sekadar tua di tempat ini! Yusril berteriak, tapi hanya gumaman permintaan yang keluar dari mulutnya, “Siapkan pakaian, aku hendak mandi sebentar. Di sini panas.”
Saminah masuk ke rumah, mengambil pesanan.
Begitu pintu menelan bayangan Saminah, Yusril melompat ke sisi halaman terdekat, melompati pagar dan berlari sekencang yang ia mampu, ke arah tersunyi.
Lima menit berlari, ia telah masuk ke kebun sawit. Lebih jauh, Yusril menerobos tanaman-tanaman rimbun yang masih saja diselingi pohon kelapa sawit. Hutan menyambutnya, setiap setapak yang ia temui, diikuti dengan terus mengingat belokan yang telah dilalui. Dengan demikian, Yusril memastikan ia tidak salah arah atau kembali ke rumah Saminah.
Sesuatu di saku celananya bergetar. Yusril nyaris terpekik kegirangan. Ponselnya menemukan sinyal! Sebuah pesan masuk, Abang kenapa belum pulang?
Yusril menekan beberapa tombol, memanggil si pengirim SMS. “Sayang, Jemput Abang di terminal!”
***
Riani menutup telepon, segera ia bersolek sebelum menjemput pujaannya.
***
Yusril menciumi ponselnya, senang bukan kepalang. Langkahnya kian ringan berlari, hingga keluar dari setapak yang ia rasa sudah sangat jauh, Yusril terbelalak. Rumah Saminah tepat berada di hadapannya.


*lirik lagu daerah Jambi populer



No comments