Cerpen Pilihan: Cek Dasar Lemari

السلام عليكم

Alhamdulillah, setelah menanti cukup lama, akhirnya ketemu juga cerpen yang lumayan bagus untuk dipajang sebagai Cerpen Pilihan di iluvtari.

Apa yang lain kurang atau tidak bagus? Gak juga, tapi cerpen berikut ini relatif lebih rapi dan "terasa" sensasi sastanya. Btw menurut pemilik karya, cerpen ini pernah dimuat di koran Jambi Independent versi cetak.

Kenalkan dulu penulisnya, Ika Y. Suryadi yang lahir pada tahun 1992. Tulisannya pernah dimuat dalam antologi cerpen “Negeri Cinta Batanghari II” (Salim Media, Jambi, 2012), “Beneath the same Moon Vol. I” (Ellunar Publisher, Bandung, 2014), “Hijab Love Stories” (Wahyu Qalbu Publisher, Jakarta, 2014), “La Tahzan, Kunci Bahagia Itu Simpel, Kok!” (Sabil Publisher, Yogyakarta, 2015) dan antologi Puisi “Kembang Api Vol. II (Ellunar Publisher, Bandung 2016). Antologi Puisi Senandung Cinta Untuk Hanny (Forum Aktif Menulis, 2016), Antologi Puisi Kopi Penyair Dunia 1550 MDPL (Yang diadakan oleh Aceh Culture, Ruang Sastra dan The Gayo Institute).

Gak usah shock dengan prestasinya. Kamu yang cuma nulis status medsos pun, asal cerpenmu enak, juga bisa dipajang di sini kok. Syarat lainnya ada di sini

Yuk lanjut, nikmati karya Ika berikut ini!

cerpen ika y suryadi

Malam, kurang lebih jam sepuluh sehabis keramas Darmi terkesiap. Didapatinya Jatmiko duduk di ruang tamu. Tubuhnya berlepotan lumpur, memutih kering di beberapa bagian, namun sebagian lagi basah lengket. Wajar saja, baru dua hari yang lalu Jatmiko dikuburkan di TPU lorong kebon.

Darmi komat-kamit, jantungnya melorot sampai betis. Namun dikuat-kuatkannya kepala yang pening dan tubuh langsingnya yang berniat roboh. Dengan gemetaran ia tutup jendela, mengunci pintu lalu perlahan duduk di kursi rotan itu, berseberangan dengan suaminya tersebut.

“Halo, Istri.”

Nada suara Jatmiko terdengar berat dan terkesan sedang menyebut struktur rumah tangga daripada menghina. Darmi nyaris roboh karena kaget. Sungguh tidak sopan jika mendiamkannya saja. Tetapi mulut Darmi tak sanggup untuk membuka. Bibirnya yang kering seperti dijahit dengan rapi dan kuat. 

Darmi terus saja duduk dan Jatmiko masih terus memandangnya lekat dari ujung kepala hingga kaki. Dan Darmi sadar ada bekas sayatan di rahang kiri suaminya.

“Jika tak keberatan, aku ingin minum segelas kopi. Tanpa gula, hanya itu.”

Darmi bergeming. Ia spontan menoleh ke arah yang Jatmiko tuju. 

Daripada menunjuk dengan jarinya, Jatmiko lebih memilih memutar kepalanya seperti burung hantu untuk menatap benda yang berada di langkan jendela ruang tengah, tertutup oleh surai-surai kain. Sewaktu memberitahukan tentang benda itu, ekspresi Jatmiko tak terbaca sama sekali. Membuat Darmi gemetar hebat dan ingin buang air kecil.

cerpen ika y. suryadi
Photo by Noah Buscher on Unsplash
Meski tidak tahu apa arti Sipermetrin, Darmi percaya kalau cairan yang ia dapatkan dari Beni dapat menunaikan rencana mereka. Sehingga dengan sedikit takut ia tumpahkan ke kopi Jatmiko, setetes demi setetes setiap hari. 

Ia sabar menunggu tubuh Jatmiko kehilangan kekuatan dan sekarat perlahan-lahan. Rasanya memang sangat lambat, tetapi itu menyenangkan. Terkadang ia dihantui rasa bersalah, tetapi itu tidak ia anggap masalah. Sebagian dirinya ingin Jatmiko pergi, tetapi sebagian dirinya yang lain berkata Jatmiko tidak benar-benar akan pergi. 

Darmi berpikir ini seperti larangan memakan apel, tetapi ia makan juga. Atau seperti ketika kau dikejar hantu di dalam mimpi. Ada di saat kau tahu itu mimpi, tapi kau tak bisa terjaga sama sekali.

Sewaktu Darmi bertengkar dengan Jatmiko dan membuat suaminya meninggalkan rumah. Mereka meributkan soal harga diri. Jatmiko benci dicaci terlebih ketika kerabat Darmi mempertanyakan penghasilannya. 

Pekerja serabutan itu, entah tukang batu, tukang kebun, atau kayu. Jatmiko terlihat tak benar-benar bisa membuat bahagia Darmi. Tapi Jatmiko juga tidak suka keributan sehingga ia pergi dan mencari penghasilan halal lagi.

Hari itu Beni, kawan lama Darmi, tiba-tiba bertandang ke rumahnya yang berada di dekat rerimbun ladang jagung. Beni bertanya siapa pemilik ladang itu karena ia ingin membeli hasil panennya untuk sebuah perayaan. Waktu itu Beni berkata, bagaimana ada bidadari tinggal di sebuah gubuk reyot ini. 

Kemudian mereka bertukar senyum. Beni membuatnya kembali percaya kalau suami yang perhatian itu ada. Atau lebih tepatnya calon suami. Seperti yang dijanjikan lelaki itu ketika mereka bertemu diam-diam.

“Cinta adalah hadiah,” ucap Jatmiko di meja makan, pada suatu malam terang bulan.

“Atau sebenarnya ia hanyalah siksaan.” Darmi membalas dingin. Ia menelan nasi jagungnya dengan mata berkedut-kedut. 

Hari ini ia makan nasi jagung lagi. Pun besok ia akan makan itu lagi. Tapi ia tidak akan menyangkal kalau Jatmiko selalu menerima apa yang ia suguhkan. Menurut Jatmiko, apa pun yang disajikan Darmi semuanya lezat sedunia.

Tetapi perasaan busuk dan terpuruk telanjur menguar di ruang itu. Jatmiko tersenyum. Senyuman yang membuat Darmi mengernyit. Kadang-kadang suaminya kerap tersenyum dengan tatapan yang jauh. Menembus ke belakang tengkuk Darmi. Meski ia tak ambil pusing. 

Dan ia semakin sering, meneteskan cairan pembunuh hama itu ke kopi Jatmiko. Sampai tetesan itu rasa-rasanya seperti gula saja sehingga ia tak pernah menanyakan lagi kapan akan bereaksi.

Tepat dua hari yang lalu, cairan itu benar-benar menunjukkan kekuatannya. Ia sedang menjemur pakaian ketika tetangganya berteriak-teriak, Jatmiko tak sadarkan diri sehabis batuk-batuk parah. 

Dengan cepat, Darmi membilas kedua tangannya dan berlari-lari ke ladang. Sekadar menunjukkan air mata dan jerit menyayat untuk diperdengarkan kepada orang-orang. Sementara ekor matanya telah menatap dalam pada Beni, lelaki yang ia kenal setahun yang lalu.

Orang-orang menggotong tubuh Jatmiko dan membawanya ke rumah mantri. Tetapi Darmi tahu itu akan sia-sia. Semua organ tubuh Jatmiko mungkin telah rongsok dan tak terselamatkan. Darmi terus menangis sekadar ingin berkata ia sedih. Tetapi ia juga hanya mengangguk penuh makna ketika Beni datang untuk ziarah.

Selepas proses pengurusan jenazah. Darmi sudah terduduk begitu saja di depan pusara. Ia sempat menyingkir ke kamar dan melamun. Kemudian membuka lemari pakaiannya. Satu-satunya benda tinggi di dalam rumah kecilnya. 

Darmi membuka lemari itu dan langsung terduduk di bawah. Lemari itu terbuat dari triplek, dibuat oleh Jatmiko sendiri. Hanya ada satu pintu dan tiga rak yang melintang tanpa hanger sama sekali. Dua rak untuk barang-barang miliknya, rak paling bawah untuk suaminya.

Ketika mengangkat pakaian Jatmiko yang tak seberapa. Ia tercenung.

cerpen ika y. suryadi
Photo by Daniel Jensen on Unsplash
“Istri.”

Darmi tergeragap. Jatmiko masih di depan matanya. Ia benar-benar tidak berhalusinasi kali ini. Tangan kanannya merayap ke arah meja yang berada di samping bangku. Ada sebuah pot bunga dari anyaman bambu di sana untuk ia lempar.

“Mana kopinya? Yang enak dan kental itu?”

Darmi sudah mencapai pot bunga.

“Kau harus cek dasar lemari.”

Pot bunga itu jatuh berdentang di lantai tanah rumah. Darmi tidak meneruskan melemparnya ke arah Jatmiko, tapi tersuruk dan berlutut di samping meja. Ia menempelkan kedua tangannya ke tanah hitam yang sudah menjadi lantai rumahnya selama lima tahun sejak ia diboyong Jatmiko ke rumah itu. 

Bayangan-bayangan awal pernikahan yang indah itu berkelebat di kepalanya. Jatmiko pernah bilang maaf untuk rumahnya yang buruk ini. Juga lemarinya yang hanya satu pintu ini.

“Apa kau pernah dengar kisah lemari?”

Waktu itu Darmi memasang ekspresi kesal yang seolah mengatakan ‘lagi?’ dan ia menimang-nimang kata. “Kau sering berkisah juga soal sepatu, alat pembuka botol dan jungkat-jungkit. Lalu sekarang lemari? ada apa dengan itu semua?”

Jatmiko mengusap pipi Darmi. Kemudian ia mulai bercerita, “Suatu hari seorang datang meminta tukang kayu untuk membuat sebuah lemari. Tukang kayu itu mencari kayu terbaik untuk ia bentuk jadi lemari. Ketika ia sudah menemukan kayu terbaik, ia menebang dengan keringat bercucuran. 

"Bahkan dalam proses pembuatan pun, lemari itu selalu terkena keringat yang menetes-netes dari tubuh tukang kayu, juga darah yang sempat tercurah karena wajahnya tergores ujung kayu yang belum dihaluskan. Apa kau bisa tebak mana yang lebih bertahan lama di lemari itu? Keringat atau darah?”

Darmi memandang mata suaminya lalu menjawab. “Darah.”

Jatmiko menggeleng pelan. “Darah memang lebih kental. Tapi keringat lebih kekal.”

Darmi terkesiap. Jatmiko kemudian berkata kalau tukang kayu itu tidak akan peduli mana yang bertahan lebih lama di kayu lemarinya. Tetapi kayu itu pun bisa melihat bagaimana keringat melarutkan darah. Atau malah menghanyutkan darah. Setelah tukang kayu menyelesaikan lemari pesanannya, seorang itu gembira bukan main. Tapi ia lupa memberi upah sampai keringat itu lebih dahulu kering hingga ke dasar-dasar lemari. 

Darmi merasa ini adalah cerita yang serius. Tetapi ia benar-benar lelah dan jatuh tertidur. Meski sebelum ia tenggelam dalam mimpinya, ia sempat mendengar kalau Jatmiko berkata maaf.

Darmi membuka mata. dan menemukan dirinya kembali berada di tanah dan masih berlutut. Dengan gemetar, ia menengadah. Jatmiko sudah tidak ada. Lumpur kering di tubuhnya juga tak membekas sama sekali. Ia memang tidak ada. Tetapi ia ada.

Kau harus cek dasar lemari. Aku menabung untuk membeli rumah yang layak untukmu ...
Adalah pesan terakhir yang ia dengar saat memeluk Jatmiko di tengah ladang. Lelaki itu sempat sadar dan berbisik lirih di telinga Darmi. 

Kemudian ia tersenyum seolah bertanya apa kau sekarang bahagia, Istriku? Darmi tak bisa berkata apa-apa saat itu. 

Yang ia tahu, setengah jam setelah Jatmiko dimakamkan, ia menitikkan air mata paling pedih sepanjang pernikahannya yang ia anggap alot ini.

Baca Cerpen Pilihan iluvtari lainnya: Hari Nahas Sutinah

No comments