Cerpen Tentang Perempuan

Ini bukan cerpen tentang perempuan pertama yang kuposting. Sebelumnya ada cerpen berjudul Perempuan, yang kutulis sendiri. Sedangkan cerpen yang akan kamu baca ini adalah karya Novita Sari, salah seorang aktivis perempuan yang berdomisili di Kota Jambi.

Cerpen Tentang Perempuan: Saudara Perempuan Saya

cerpen novita sari

Jika ada yang bertanya apa yang paling membingungkan saya selama hidup, saya akan dengan senang hati berkata, itulah saudara perempuan saya. Selain tidak suka saling meminjamkan barang, bermain bersama, dan saling bercerita kami, juga tidak pernah benar-benar saling mengenal. Aneh, bukan?

Tidak, kau sedang tidak salah membaca, saya pun juga masih tidak bisa berkata-kata dengan jalan pikirannya, meromantisasi hidup yang isinya hanya sumpah serapah, kekerasan, miskin, dan pesakitan. Mengapa ada orang semacam itu di dunia ini? Inilah hubungan paling membingungkan antarsesama saudara perempuan, yang bahkan orang tua kami pun tidak bisa menjelaskannya.

Kami terpaut usia delapan tahun, dalam ingatan saya dia adalah kakak perempuan yang payah. Saya pernah menangis tersedu-sedu karena ingin ikut ia bermain bersama teman-temannya sewaktu SD, tapi tidak diperbolehkan. Hari-hari berikutnya ia tampak menaruh kesumat melihat wajah saya karena lauk pauk di bawah tudung saji yang saya habiskan, marahnya ia saat mukenanya dibawa diam-diam dan saya tinggalkan di musala lalu hilang. 

Episode itu tidak terlalu panjang sampai saya ingat di tahun-tahun berikutnya kami jarang berjumpa. Kehidupan ekonomi keluarga yang sulit membuatnya harus merantau dan bekerja sebagai babysitter. Kami hanya bertemu sesekali saat hari raya, tanpa ada rasa bersalah dan meminta maaf seperti seremoni keluarga pada umumnya, kami seolah sudah saling mewajarkan. Saya pun mulai punya kehidupan sendiri, bekerja dan menghabiskan waktu dengan teman-teman saya. Hinga akhirnya kabar ia akan menikah terdengar juga di telinga saya.

Usianya mungkin masih 19 tahun saat itu,  dengan kebaya putih sederhana ia menikah di KUA tidak jauh dari kelurahan kami. Meski saat itu saya belum paham soal konsep pernikahan, tapi dari percakapan sepintas yang saya dengar, ibu saya masih menyimpan kekesalan. Dalam budaya kami, acara pernikahan adalah wujud penghargaan pada pengantin perempuan. Sedang kakak saya menikah sesuai agama dan negara saja, jauh dari kata mewah, membuat sedekahan pun tidak. Seharusnya ada mempekat keluarga, perhelatan resepsi dengan berbagai makanan, warna-warni hiasan tenda, serta ramai-ramai orang yang datang.

Belakangan saya mengaminkan, segala sesuatunya perlu duduk bersama. Sejak kakak saya punya anak pertama, tidak banyak sikap keluarga yang berubah, mereka seperti masih menyimpan sesuatu yang belum terkatakan. Kakak saya pun seperti tidak mampu mengungkapkannya.

Lalu hidup mengantarkannya pada episode-episode lain. Tubuhnya yang dulu gempal kini kurus, terlihat jelas urat nadinya dari kulit yang berwarna kuning langsat. Matanya cekung seperti orang yang sering begadang, bahkan kabarnya ia tidak bisa melihat dengan jelas. 

“Kakakmu masuk rumah sakit lagi, kali ini harus cuci darah.”

Suara di ujung telepon itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Sejak dua tahun terakhir ia memang sering masuk rumah sakit. Melihat wajahnya yang berusaha tetap tenang dengan rasa sakit, saya luluh atau bahkan miris. Sebagai seorang adik perempuan, saya paham ia sudah melalui hidup yang tidak mudah. Suaminya seorang pemain judi, jarang pulang ke rumah dan sering cekcok. Ini saya tahu dari cerita tetangga, saat mengunjunginya di bulan-bulan pertama pernikahannya. 

Keluarga kami memang punya riwayat sakit gula dan menyasar ke organ ginjal. Tapi membayangkan kabel-kabel yang dilewati darah yang saling berputar, dan melihat ia menggigil saat proses hemodialisis, membuat pikiran saya tentang masa kecil kami sedikit bergeser. Memang manusia akan lebih cenderung mengingat episode sedih dalam hidupnya dibandingkan dengan cerita bahagia, apalagi cerita seorang anak kecil yang sering cemburu dengan kakaknya sendiri. 

Saudara perempuan saya dulunya adalah gadis yang periang, dia pintar di kelas. Hanya karena orang tua yang tidak mampu membiayai sekolah, ia harus mengalah pada saya yang waktu itu ingin melanjutkan pendidikan. Ia harus berpisah dari kami dan bekerja untuk kebutuhan sendiri, juga karena tidak sanggup menyaksikan adegan-adegan kekerasan bapak pada saya atau ibu. Kami sebenarnya diam-diam sudah akrab dengan itu, hanya yang saya ingat kakak saya jauh lebih menyedihkan.

Apakah kesedihan itu turun menurun? Jika orang kaya punya warisan harta, apakah orang miskin mewariskan kesedihan? Bukankah itu sangat tidak adil. Jika suatu hari Tuhan menginzinkan, saya akan mengumpat pada nenek moyangku yang telah berani menurunkan kesalahan-kesalahan ini. Mestinya dulu waktu mereka hidup, saat tanah dimiliki tanpa bersertifikat, mereka harusnya mengambil sebanyak-sebanyaknya. 

Orang terdahulu harusnya juga tidak beramah-tamah dengan pendatang, usir saja mereka yang tidak lahir di tanah Sumatra, apalagi dari luar negeri. Kakak saya harusnya bisa bersekolah sampai perguruan tinggi dengan uang hasil menjual tanah kakek buyut saya, saya pun harusnya tanpa bekerja bisa membeli apa pun yang saya mau tanpa melihat harga. 

Hah, setelah menutup telepon tadi saya mematut wajah pada cermin kamar. Saya amati bekas-bekas jerawat dan pipi saya yang terlihat hampir bulat sempurna. Lalu saya tersenyum kecil, bisa-bisanya saya mengarang hampir semua cerita tadi.

Cerpen tentang perempuan sebenarnya sudah banyak ditulis dan bisa kamu baca di berbagai media. Ada gak yang mau nulis topik laki-laki? Bisa kirim ke iluvtari! Syarat dan ketentuan sila cek di sini.

No comments