Rumah Paman
unsplash.com |
oleh Syarifah Lestari
Setiap hari
rumah pamanku ramai dengan orang-orang yang berkumpul. Aku saja mesti menjauh,
tak jadi menumpang padanya demi memisahkan diri dari kesibukan yang tak biasa
itu. Dari Sumatra aku merantau ke kota ini, berencana kuliah sambil kerja. Tapi
karena modal hidupku pas-pasan, rencana awal kutunda saja. Di sini akhirnya aku
mengabdi pada seorang warga keturunan, menjadi penjaga rumahnya. Mungkin tahun
depan baru aku bisa memasuki dunia kampus. Mungkin tahun depannya lagi, atau ke
depan lagi.
Ibu dan
keluargaku di Sumatra tak pernah tahu keadaanku yang sebenarnya. Aku terlalu
sungkan menyampaikan apa yang kurasa di sini. Sesungkan aku bertanya, apa yang
Paman, Bibi, dan teman-teman mereka lakukan setiap hari.
Setahu Ibu, aku
tinggal bersama Paman yang mapan itu, berleha-leha menikmati hasil kerjanya. Karena
puluhan tahun menikah, Paman tak juga punya anak. Prasangka baik Ibu, aku
diangkat jadi anak di sini. Sepaham Ibu, Paman adalah adiknya yang baik dan
sayang keponakan.
Tak selamanya
salah. Paman memang baik padaku, suka memberi. Tapi aku tak suka meminta. Jadi
jika ia memberi, kuterima. Jika ia alpa, aku tak akan mengingatkan. Istri
pamanku juga normal sebagai seorang bibi. Ia tak sinis melihat kehadiranku,
seperti pada film-film Indonesia klasik atau sinetron masa kini. Tak pula terlalu
bersayang-sayang, biasa saja.
Yang tak biasa
dari mereka adalah keramaian itu.
Pada siang hari,
rumah paman yang megah hanya berupa bangunan yang pendiam. Orang yang melintas
di depannya akan mengira penghuni rumah tengah beristirahat total karena
kehabisan tenaga. Sepi, bisu.
Beranjak sore,
satu per satu mobil bertandang. Semuanya mobil, tidak ada kendaraan roda dua
terparkir di halamannya. Tapi tidak nampak kesibukan berarti. Mobil-mobil itu
datang, memuntahkan penumpangnya—yang selalu lebih dari empat orang—lalu pergi
lagi. Semua penumpang masuk melalui pintu samping dengan diam. Tidak ada
sambutan di pagar ataupun pintu, para tamu pun tidak membawa ekspresi di wajah
mereka.
Tiga hari aku
meratapi diri di kamar teratas. Menyaksikan kejadian itu-itu saja dari balkon,
lalu memutuskan diri untuk pergi. Paman memasukkan lima lembar seratus ribuan
ke saku kemejaku, Bibi membantu memanggilkan taksi dan membereskan
barang-barangku. Mereka normal, hanya keramaian itu yang tidak menyenangkanku.
Hanya berjarak sepuluh
rumah dari rumahnya, aku mendapat kamar kos sederhana. Paman tidak tahu, karena
ia dan istrinya nyaris tidak pernah keluar rumah dalam jarak dekat. Jika keluar
dari pagar megah itu, ia akan pergi sejauh-jauhnya, hingga tak cukup satu hari
perjalanan darat ke tempat yang ia tuju. Kira-kira tiga hari atau sepekan
kemudian, baru ia muncul kembali ke rumah itu. Bibi tidak keluar sama sekali.
Siang hari
kuhabiskan waktu di kos-an, menulis opini atau cerpen bermodal laptop tua
pemberian Paman. Menjelang malam aku berangkat kerja, ke rumah megah selain
milik pamanku di daerah itu. Kira-kira lima ratus meter dari tempat kos,
berlawanan arah dari rumah Paman. Duduk di pos, menyaksikan layar kecil di atas
meja, sesekali berkeliling memastikan keadaan aman. Sama dengan pamanku,
pemilik rumah ini pun jika bepergian tak pernah sebentar.
Pengalaman
berhari-hari, bahkan berbulan-bulan memperhatikan mobil lalu lalang di depan
rumah tempat aku bekerja, tanpa sengaja aku telah menghafal beberapa mobil yang
selalu datang dari kanan pada menjelang magrib, kemudian pulang kembali dalam
hitungan menit. Lalu setelah subuh muncul kembali dari kanan, dan tak lama
kemudian kembali dari arah kiri jalan. Kupastikan merekalah yang menyambangi
rumah pamanku, setiap hari.
Sebagian kecil
mobil itu berkaca bening, hingga nampaklah seluruh penumpang di dalamnya saat
datang, dan tersisa sopir
saat kembali. Sebaliknya, dalam penjemputan dini hari, sopir datang sendirian
lalu pulang berlima atau lebih. Mereka, sopir
dan penumpang, sama tak membawa ekspresi, baik pergi maupun pulang. Kukira
mereka tergabung dalam sebuah komunitas, yang entah bergerak di bidang apa.
Kadang aku
berpikir, dari mana uang yang mereka dapat untuk membeli mobil dan pakaian
mahal yang mereka kenakan, sedangkan setiap hari rutinitas mereka hanya
menyambangi rumah pamanku dan menghabiskan malam di sana. Semakin kupikirkan,
semakin tak menentu. Jadi kuputuskan, membiarkannya tetap misteri tanpa perlu
kucari tahu ada apa di baliknya.
“Kau tahu, Dan,
dalam satu atau dua minggu ini akan ada penggerebekan.” Ramli menepuk pundakku.
Sambil menyeruput kopi di meja, ia duduk menyamping memandangi jalan raya.
“Penggerebekan?”
Tanyaku mengulang.
Ramli
mengangguk. “Ada rumah mewah di ujung sana. Setiap magrib sampai subuh ramai
oleh orang-orang yang entah datang dari mana.”
“Apa salahnya?” Tahulah aku yang
dimaksud kawan sekerjaku ini, rumah Paman.
“Mencurigakan
pastinya.”
“Sudah dicari tahu
ada apa?”
“Soal itu aku
tak mengikuti. Aku hanya dengar akan digerebek tak lama lagi. Tukang Soto di
Simpang yang cerita kemarin.”
“Memangnya apa
perkiraan warga pada rumah itu?”
“Tidak ada yang
paling mungkin, semuanya mengambang. Bisa bisnis ilegal, cetak uang palsu, narkoba,
atau yang lain-lain.”
“Kenapa tidak
lapor saja langsung ke polisi? Untuk apa repot-repot menggerebek. Jika tidak
ada apa-apa, warga yang malu. Apalagi aparatnya.” Masukanku pasti tak
menghasilkan apa-apa, toh Ramli bukan siapa-siapa.
Terbukti ia
hanya angkat bahu. “Memangnya kita siapa, lihat saja nanti.” Lalu ia melanjutkan
dengan menyalakan sebatang sigaret, mengisapnya dalam-dalam, “Sekarang zaman
serba transparan. Mau lakukan apa pun, apalagi di tengah masyarakat begini,
harus ada komunikasi.”
“Mereka kan
tidak mengusik siapa pun,” jawabku jelas membela.
“Membuat orang
penasaran pun, sekarang ini, termasuk dosa.” Ramli tertawa kecil, kemudian ia beranjak
keluar pos.
Menjelang subuh,
kuputuskan mendatangi pamanku sebelum penggerebekan keburu terjadi. Pulang lebih
awal dengan alasan meriang, kupacu langkah setengah berlari ke rumah adik ibuku
itu.
Penuh peluh aku
tiba di gerbang, celingak-celinguk memastikan tidak ada yang menyaksikan
perbuatanku yang akan membocorkan informasi penting. Pagar yang tingginya dua
kali lipat dari tinggi tubuhku jelas menghalangi pandanganku ke halaman dalam.
Bagian pangkal bawah hingga ke ujung, menjelang bentuk trisula tajam, ditutupi
plastik tebal khas rumah orang-orang kaya yang enggan didatangi pengemis.
Ponsel pamanku
tak bisa dihubungi, selalu begitu sejak dulu. Ibuku hanya sesekali bisa menelepon
adiknya, dan itu belum tentu satu bulan sekali. Aku berlari ke samping rumah,
dan kupastikan memang hanya akan menemukan pagar tinggi di semua sisi, kecuali
di bagian belakang yang malah dipagari tembok yang lebih tinggi lagi. Bagian
puncak tembok itu dipenuhi pecahan kaca yang sengaja ditanam, menolak
kedatangan rampok dan sejenisnya.
Aku hanya hendak
menghindari kecurigaan orang jika melihat aku memanjat pagar rumah ini, maka
kupilih posisi yang paling jauh dari pandangan orang yang kemungkinan melintas,
sekaligus mencari sela untuk berpegangan. Paman tak punya anjing, paling-paling
jika aku terpergoki oleh orang di dalam sana, mereka akan memanggil pemilik
rumah. Tak akan jadi masalah.
Hampir di puncak
pagar, tak seorang pun kulihat berada di halaman. Kulangkahi trisula besi,
berpindah posisi, lalu melompat turun. Di dalam masih hening. Aku berjalan
santai memasuki rumah. Tak ada yang melintas di ruang tamu ataupun ruang
tengah, dapur pun lengang. Tahulah aku, Paman dan rekan-rekannya tentu tengah
berkumpul di halaman belakang.
Melewati pintu
belakang, sebuah bisikan menghentikan langkahku. Di ujung pandang, nyaris
merapat pada tembok, puluhan orang tengah berkumpul melingkar seperti yang dulu
rutin kulihat tanpa sepengetahuan Paman dan Bibi. Tapi tak lebih dari sepuluh
orang, salah satunya pamanku, duduk berbaris di sebuah ruang di bawah tangga.
Kukira itu hanyalah gudang, tapi ruangan itu terlihat lebih luas dari sekadar
untuk menyimpan barang-barang yang jarang digunakan.
Barisan orang
itu menunduk, sebagian mengisap jempol kaki, selebihnya seperti mengais-ais di
lantai. Ada suara bisikan, lenguh, dan ada pula seperti dengkuran. Aku
mengendap mendekat.
Bau anyir,
pahit, busuk, dan entah apa lagi, menyergap hidungku. Makin dekat aku pada
ruang itu, aroma tak dikenal itu makin menusuk. Tiba di pintu kecilnya,
kupaksakan melongokkan kepala, karena meski menghadap ke arah pintu, sederet
orang yang duduk itu tak ada yang mengangkat kepala. Mereka sibuk dengan jempol
kaki, cakar, dan lantai.
Dan, setelah seluruh kepalaku berada di dalam,
hanya lima inci di depan hidungku, sesuatu yang hitam besar berdiri menantang. Seumur
hidup tak pernah kusangka ada makhluk sedemikian buruk rupa. Tubuhnya dipenuhi
ijuk, dengan kelamin tak berbentuk. Wajahnya tak ketentuan, posisi hidung, mata,
dan mulutnya tidak proporsional. Tidak bertelinga, ujung kepalanya tiada
berambut, melainkan sebatang tanduk lancip menjulang.
Bahkan berteriak
pun aku tak sempat. Lari! Perintah hatiku. Maka sepenuh tenaga kukerahkan untuk
membawa badan. Jauh, kencang.
Sungguh lama aku
berlari, hingga lunglai.
Dan kudapati aku
terduduk menggeletak.
Di depanku orang-orang
mengisap jempol kaki, sebagian lagi mengais-ais lantai. Dari muka ruangan
terdengar alunan lembut semacam syair atau mantra oleh seseorang nan rupawan. Ia
berdiri tegap, berpakaian bersih dan wangi. Wajahnya cerah. Hidung, mata, dan
mulutnya tertata sempurna. Rambutnya rapi mengilap, dan ia tak henti-henti tersenyum
ramah padaku.
0 comments:
Post a Comment
komentar berisi link gak bakal diapprove. mending sisip link di profil aja