Masalah Dakwah, Dimulai dari Rumah Efeknya ke Mana-mana

Kalau bahas dakwah, seringnya kita membayangkan pengajian, pesantren, atau kegiatan besar oleh kelompok-kelompok tertentu. Padahal gak harus begitu, dan malah pemikiran seperti itu bisa jadi masalah dakwah itu sendiri. Lah, belum apa-apa sudah jadi masalah.

Sebab dakwah itu kewajiban setiap muslim (QS 3: 104, 3: 110, 31: 17, dan beberapa hadis sebagai dalilnya) . Jadi nggak mungkin semua orang Islam mendapat pekerjaan besar, pasti disesuaikan dengan kapasitasnya. Misalnya ibu rumah tangga, target dakwah terdekatnya tentu anak-anak. Beda dengan aleg, artis, dll.

Tapi ada satu masalah dakwah yang sering kita abaikan. Padahal ada efek besar di baliknya. Apa itu? Jawabnya keluarga. Bisa dibilang, ini adalah contoh problematika dakwah pada masa sekarang.

contoh problematika dakwah pada masa sekarang


Akhwat, Selesaikan Dulu Urusan Beres-beres!

Dulu sekali, ketika aku ikut “pengajian anak muda”, guru kami berpesan, “Akhwat sebelum keluar rumah, pastikan kerjaan rumah tangga sudah selesai.”

Aku shock sendiri, jangan-jangan mbaknya ngerti kalau aku di rumah gak tau kerjaan! Ternyata gak gitu juga. Beliau menyampaikan hal tersebut, karena mengalami sendiri.

“Urusan rumah tangga itu luar biasa banyak. Ibu kita di rumah capek sekali dengan pekerjaannya. Entah itu ngurusin anak, membantu nafkah suami, dll. Jangan sampai, kita keluar rumah meninggalkan kedongkolan orang,” begitu curcolnya. “Sebelum pergi, minimal kita sudah nyapu. Atau kalau di rumah ada pembagian tugas tetap, selesaikan tugas kita itu. Jangan sampai gara-gara pergi ngaji, orang lain ketempuan kerjaan kita. Bikin gak berkah!”

Untunglah aku punya kakak seabrek, jadi kerjaan rumah habis di mereka semua. Tapi setelah nikah, aku kualat. Ternyata benar kata si mbak. Kerjaan rumah tangga bukan main menguras fisik dan psikis.

Jadilah Teladan, Akhi!

Salah satu senior pernah cerita, ia dipesan ayahnya agar jangan menikah dengan cowok dari kelompok pengajian tertentu. Alasannya, orang-orang di kelompok itu tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Aku sering melihat orang-orang pada kelompok yang dimaksud. Tidak adil jika memukul rata seluruh anggota karena kekeliruan oknum tertentu. Walau kuakui, oknumnya banyak. Tapi begitulah, kesalahan satu dua orang bisa dianggap cerminan keseluruhan. Selain itu meski keliru, jika dilakukan oleh oknum tertentu yang berpengaruh di dalam sebuah kelompok, kesalahan tersebut berpotensi jadi contoh bagi anggotanya.

Terlepas dari kelompok yang jadi contoh kasus di atas, memang ada orang yang suka bepergian atas nama dakwah. Mereka kadang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, atau pergi saja beberapa lama lalu kembali ke rumah, dan mengulangi kegiatan yang sama selama hidupnya.

Jangan anggap remeh mereka, orang-orang ini kadang dengan modal dari kantung sendiri, mendakwahi masyarakat di daerah-daerah terpencil. Tapi tak ada gading yang tak retak, ada saja yang ikut-ikutan pergi (katanya) dakwah dengan niat sisipan sekadar traveling. Mereka inilah yang kemudian menjadi bagian dari masalah dakwah.

Untuk membedakan yang pergi memang untuk dakwah atau sekadar melepaskan diri dari “beban” bertemu anak-istri atau pengin jalan-jalan tanpa modal, bisa cek bagaimana cara mereka meninggalkan rumah.

masalah dakwah


1. Dakwah sebaiknya dimulai dari keluarga terdekat.

Pernah ada kisah tentang pemilu di suatu daerah yang terkenal islami. Kala itu, ada beberapa perwakilan partai yang datang dan mengklaim diri sebagai partai Islam. Oleh para tetua kampung, dimintalah foto istri dari para pimpinan partai tersebut.

Akhir cerita, partai yang istri ketuanya menutup aurat paling rapilah yang memenangkan suara secara bulat di kampung tersebut. Alasannya sederhana, sebelum sibuk mengislamkan masyarakat, seseorang harus lebih dulu membentuk keluarga yang islami.

Keluarga islami itu bukan yang ibunya ada empat, tapi yang anggota keluarganya mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh. Meski mungkin belum sempurna.

2. Penuhi kewajiban sebelum berangkat.

Sama seperti para gadis yang diwanti-wanti untuk beberes sebelum keluar rumah, yang kubahas di atas. Para suami juga idealnya telah memenuhi kebutuhan rumah yang akan ditinggalkannya. Jangan sampai ia sibuk memikirkan iman orang lain, tapi iman keluarganya goyah karena kebutuhan pokok yang tidak tercukupi.

Jika keluarga sudah terdakwahi, insyaallah mereka tidak menuntut banyak kok. Istri cukup pakaiannya, anak-anak bisa sekolah di tempat yang layak. Kebutuhan dapur cukup selama kepala keluarga pergi, ada kendaraan yang aman digunakan, dsb.

Lain lagi jika yang pergi adalah laki-laki lajang, ia hanya butuh izin ibunya. Jangankan “cuma” dakwah di tempat yang aman, pergi jihad saja harus seizin ibu, kan. Yang menikah mungkin senang, mereka tak perlu izin istri untuk ngelayap ke mana saja. Bahkan poligami di setiap hentian pun gak perlu izin istri. Asik!

Tapi istri dan anak akan meminta pertanggungjawabanmu di akhirat kelak. Saat kita lagi sibuk mengingat-ingat amal baik untuk bahan timbangan, tanggungan dunia justru datang antre minta ditransfer dosa mereka ke walinya ketika hidup. Asik!

3. Beri teladan, bukan umbar ayat.

Hal terakhir yang membedakan mereka yang dakwah dengan mereka yang jalan-jalan gaje, adalah keseharian yang nampak. Apakah aktivitas sehari-harinya, sama dengan saat mereka berkumpul dan dilihat orang banyak? Tapi yang ini bukan kita yang mengukur sih, hanya bisa dirasakan oleh orang terdekatnya.

Namun demikian, beberapa ustaz pernah menyampaikan. Ciri orang yang ucapannya sama dengan perbuatannya, dapat dirasakan ketika ia menyampaiakan nasihat. Jika ia sendiri tidak melakukan apa yang ia sampaikan, maka nasihat itu tidak akan menggetarkan apalagi membekas pada orang yang didakwahinya.

Tapi itu ucapan ustaz ya, bukan dalil. Sama seperti artikel ini yang lebih ke opini daripada penjelasan berdalil. Mau dalil? Ini!

"Pada hari kiamat kelak, ada seseorang dipanggil. Ia kemudian dilemparkan ke dalam neraka sehingga ususnya terburai, dan berputar-putar bagai keledai menarik penggilingan. Penduduk neraka mengerumuninya, dan bertanya, ‘Mengapa kamu ini? Bukankah kamu dulu suka memerintahkan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran?’

Orang tersebut menjawab, ‘Benar! Aku suka mengajak kalian berbuat kebaikan, tapi aku sendiri justru tidak melakukannya. Aku juga suka mencegah kalian dari kemungkaran, tapi aku sendiri malah melakukannya.’” (HR Bukhari dan Muslim).

Akibat Dai Minim Teladan

Ada banyak contoh yang mana simbol agama disebut-sebut ketika kita berbuat keliru. Misalnya kasus pelakor yang mengenakan jilbab, tidak sedikit yang kemudian menganggap pakaian takwa tak ada pengaruhnya terhadap akhlak. Dianggap orang telanjang dengan yang bercadar nilainya sama.

Kemudian kasus terorisme yang mana tersangka mengenakan cadar dan celana cingkrang. Dianggap pakaian sejenis adalah “seragam” teroris. Padahal bukan tidak mungkin mereka adalah orang yang dikesankan berpakaian demikian, atau bahkan korban skenario terorisme, alih-alih teroris.

Tapi itu agak jauh sih. Yang dekat-dekat saja, misalnya orang yang dianggap religius tapi kalau bercanda tidak beda dengan yang jarang ke masjid. Tidak bisa membedakan mana lucu mana cabul. Atau yang ngajinya bagus, jadi imam di mana-mana. Tapi sekalinya buang sampah, main lempar ke sembarang tempat. Kalau di majelis umbar ayat, di lapangan gak ada pantes-pantesnya jadi teladan. Banjir tausiah minim uswah.

masalah dakwah masa sekarang


Yang demikian membuat umat malas untuk mempelajari agama. Kesannya makin beragama makin ngawur pemikiran. Mereka menilai agama dari orangnya. Jelas keliru. Lebih keliru lagi, yang menilai pun penganut agama itu sendiri. Beragama biasa-biasa saja dianggap lebih selamat saat ini.

Berpakaian lebih islami dianggap fanatik, dituntut sempurna atau bahkan dianggap melenceng sekalian. Perasaan kita biasa-biasa aja sih, padahal banyak mata yang memperhatikan. Kenapa dari awal aku pakai kata “kita”? Karena aku termasuk di dalamnya. Kerap dianggap ekslusif karena jilbab, padahal banyak jilbaber lain yang suka bergaul dan ceriwis sejak awal bertemu.

Tidak semua orang tau apa itu kepribadian introvert/ekstrovert. Yang mereka tau sombong atau gaul. Untuk yang begini, aku nyerah deh! Memang gak bisa kasih teladan ke orang-orang. Aku kesulitan memulai pembicaraan, aku lebih suka nulis daripada ngomong.

Kesimpulan dari Masalah Kecil dalam Dakwah 

Poin dari ulasan terkait masalah dakwah masa sekarang di atas adalah:
  • Setiap muslim wajib berdakwah, dengan target yang disesuaikan posisi kita masing-masing.
  • Jangan menjadikan dakwah sebagai alasan untuk melalaikan tugas penting, yang menjadikan orang lain terbebani karena dakwah kita.
  • Salah satu problematika dakwah internal adalah minimnya teladan. Solusinya, jadilah contoh dari apa yang kita ucapkan. Kita memang tidak bisa sempurna, tapi kita bisa untuk tidak muluk-muluk menyampaikan sesuatu yang kita sendiri enggan melakukannya.
Jadi dari mana masalah dakwah bermula? Itu dari kita sendiri, para dai. Ini belum termasuk perpecahan di kalangan umat Islam, dll. Islam dijamin Allah tidak akan pernah jatuh, hanya iman kaum muslimin yang pasang surut. Musuh Islam tidak akan pernah bisa mengalahkan kaum ini, kecuali atas bantuan orang Islam sendiri, disadari atau tidak.

5 comments

  1. Persoalan dakwah memang kompleks. Sebaik apapun yang akan dilakukan selalu ada sisi negatif dari pandangan orang. Rasul mengajak untuk berislam juga ngak sesimple sekarang. Asal hafal ayat udah modal menghakimi sodara lain keliru ini itu. Alhasil dakwah jadi ngak menggugah.

    Tulisan ini cukup mewakili perasaan banyak orang dalam berdakwah. Pun tips dalam artikel ini menjadi wejangan berharga untuk kita semua.

    ReplyDelete
  2. Nah, urusan pekerjaan rumah ini ga bisa dianggap sepele. Aku setuju, sebelum keluar rumah kita harus membereskan urusan di dalam rumah terlebih dahulu.

    ReplyDelete
  3. MasyaAllah, makasih banyak mbak remindernya, detail dan menarik bahasannya. Penuturan tulisannya juga nyaman dibaca, thumbs up! Sukaaa :)

    ReplyDelete
  4. 'Beragama biasa-biasa saja dianggap lebih selamat saat ini.'

    Ini tamparan berat ya kak, super berat..

    ReplyDelete
  5. Bener banget tuh mbak, dakwah itu kewajiban setiap muslim. Terlepas menggunakan metode atau media apapun. Bahkan dalam keseharian kita dituntut harus memiliki tujuan dakwah. Yang paling penting bagaimana kita menjadi teladan, mempraktikkan apa yang kita dapatkan.

    ReplyDelete