Cerpen Poligami yang Gak Bikin Mehek-Mehek

Lagi ramai kisah selingkuh, poligami, dan macem-macemnya. Mending dijadiin cerpen kan ya! Dan inilah dia, cerpen poligami yang entah islami entah nggak, pokoknya kamu baca aja seikhlasnya.

Cerpen Poligami karya Syarifah Lestari

cerpen poligami islami

“Kamu yakin mau jadi madu?”
“Yakin, Mbak. Saya sudah dapat izin dari orang tua juga.”
“Orang tua tau calonmu sudah punya dua istri?”
Asni mengangguk. “Daripada jadi perawan tua, biarlah jadi madu. Yang ketiga sekalipun.”
Mer bingung hendak melafaz zikir yang mana. Antara takjub dan ... entahlah, tak ada kata maupun kalimat yang dapat menggambarkan perasaan dan prasangka di hatinya.
Mer diminta oleh Saiful, teman masa kecilnya, menjadi fasilitator taaruf antara Saiful dan Asni. Hal yang dulu pernah ia lakukan ketika mempertemukan temannya itu dengan Latifah, sang istri pertama.
Bukan tanpa penolakan, Mer jelas tak enak hati pada Latifah. Ia merasa telah mengkhianati teman sepengajiannya itu. Namun baik Latifah maupun Sasi, istri kedua Saiful, sama-sama tak mempermasalahkan suami mereka menambah satu rumah lagi. Hal itu sudah dikonfirmasi langsung oleh Mer. Walaupun ia heran, kenapa tidak satu dari mereka saja yang menjadi comblang. Kenapa harus dia?

“Aku sudah nebak kok, kalau Abang bakal tambah orang lagi. Kalau sudah dapat dua, mestilah ingin yang ketiga.” Latifah berucap santai sembari mengunyah apel di tangannya.
“Setelah yang ini, paling juga nambah lagi!” sambar Sasi.
“Tul,” balas Latifah lagi. “Itulah kenapa ada ayat Quran tentang poligami. Tujuannya membatasi, bukan nyaranin sampe empat!”
Mer duduk di antara mereka. Ia tak habis pikir dengan keluarga ini. Seringan itu mereka membahas poligami. Sementara ia harus ngambek sampai pindah kamar ketika suaminya hanya bercanda mengenai peluang berpoligami. Bukan menyatakan rencana.
Saiful beruntung, pikirnya, mendapatkan istri-istri salihah. Tidak seperti dia. Tapi Mer merasa lebih beruntung, tidak bersuamikan Saiful.

Ruang musala kampung yang dijadikan lokasi taaruf sudah bersih sepenuhnya. Mer yang menyiapkan. Hening. Hanya terdengar deru kipas angin yang menempel di tiang tengah, mengarah pada Mer yang duduk sendirian di bawahnya.
Tak lama, Asni datang ke musala. Selisih sedikit waktu kemudian, Saiful dan seorang temannya menyusul. Keempatnya dipisahkan oleh kain pembatas jamaah perempuan dan laki-laki, Mer bersama Asni, dan Saiful berdua temannya.
Pembicaraan penting dibuka oleh teman Saiful, yang sepertinya dituakan oleh tiga lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan obrolan penting tapi santai, terkait visi misi menikah, rencana setelah menikah, dan hal-hal lain bagaimana umumnya proses taaruf.
“Anti sudah cari tau bagaimana seorang Saiful?” tanya yang dituakan.
“Dalam proses, Ustaz,” jawab Asni.
“Ke mana cari taunya?” pertanyaan yang tak disangka dilontarkan oleh Saiful.
“Rahasia, dong!” Mer yang membalas.
“Tau nggak, siapa yang paling mengenal seorang laki-laki?” tanya Saiful lagi.
Mer tahu jawabannya, tapi memilih diam.
“Istrinya.” Saiful menjawab pertanyaannya sendiri.
“So?” Mer dan Asni keheranan. Ingin menebak tapi rasanya tak mungkin.
“Ya tanya ke mereka,” ucap Saiful yakin. Membuat Asni terbelalak.
Mer tak terlalu terkejut, meski tak menyangka juga. Ia tidak ikut dalam proses pernikahan kedua Saiful, tapi ia tahu rumah tangga temannya itu memang cukup unik.
“Ajak Asni ketemu Latifah dan Sasi, Mer!” pinta Saiful.
Mer mengangguk, meski ia tahu Saiful tak bisa melihat anggukannya dari balik hijab musala.

Mer hanya mengantar Asni sampai di pinggir jalan depan kafe. Ia tak ikut masuk menemui Latifah dan Sasi, sesuai pesan keduanya. Mereka tak ingin membuka aib sang suami pada orang luar, begitu pengakuan Sasi yang secara halus menolak kehadiran Mer di antara mereka.
Asni berjalan pelan-pelan, antara canggung dan penasaran. Ia kemudian mendapatkan dua perempuan yang direncanakan menjadi “kakak”-nya di salah satu sudut. Keduanya menyapa Asni ramah.
Suasana langsung cair, obrolan dimulai dari yang ringan dan sama sekali tak menyentuh perkara pernikahan. Makanan dan minuman dipesan, semua jamuan dibayar menggunakan uang dari Saiful. Secara materi, laki-laki itu bahkan diperkirakan mampu menikahi sepuluh perempuan. Andai dibolehkan.
“Kata Abang, kamu mau tau lebih banyak tentang beliau,” Latifah mulai ke inti pembicaraan.
Asni mengangguk malu-malu.
“Dari yang jelek atau yang bagus?” tanya Sasi.
“Yang jelas, dua-duanya jujur. Kami saling mengonfirmasi,” tambah Latifah.
“Yang jelek saja dulu,” jawab Asni.
Latifah dan Sasi saling pandang.
“Kayaknya bakal panjang, nanti yang bagusnya gak kebagian,” Sasi berpendapat.
“Dari yang bagus aja dulu, ya,” saran Latifah.
Asni mengangguk lagi.
“Kamu boleh mencatat kalau khawatir gak inget.” Latifah merasa berhak menyebutkan lebih dulu. “Laki-laki bernama Saiful itu, sangat banyak bicara. Dan hampir semua ucapannya nirfaedah. Tapi kamu harus mendengarkan, karena ia gampang emosi jika merasa diabaikan.”
Asni menelan ludah.
“Dia tidak terbiasa bangun pagi. Jangan harap kamu diajak tahajud bersama, tapi jangan pula mengingatkannya. Dia pasti marah. Urusan akhirat suami biarkan di tangan suami,” masih Latifah.
“Saat dia meletakkan HP, letakkan pula HP-mu. Tinggalkan semua pekerjaan, karena dia akan memintamu melakukan hampir semua hal. Ambilkan air minum, cari celana dalam, pijati betisnya, buatkan kopi, nyalakan TV, siapkan asbak, dan kamu baru merasa lega setelah dia pergi.”
Asni tak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar ucapan Latifah. Membuat Sasi tertawa melihatnya.
“Jangan pernah menceritakan mantanmu, bahkan sekadar teman baikmu kalau dia laki-laki. Saiful sangat pencemburu!”
“Kalau itu kan bagus, Kak!” Sasi menyela.
“Perlu sampai menampar?” balas Latifah tak suka.
Sasi memutar bola matanya.
“Bang Saiful menampar Kak Latifah?” Asni memastikan.
“Iya, tapi gak terlalu keras dan gak sering.”
“Aku pernah ditendangnya,” keluh Sasi. “Gara-gara nanya, berapa dia kasih Kak Latifah duit.”
“Aku belum selesai,” kata Latifah.
Obrolan ketiganya berlanjut. Mer mengantar Asni pukul 9 pagi, ketiganya baru bubar setelah azan Asar.

Dan setelah pertemuan kecil yang panjang itu, Mer kembali harus mempertemukan Asni dan Saiful. Kali ini di sebuah rumah milik Saiful yang rencananya akan ditinggali Asni setelah mereka menikah nanti. Hanya ada Saiful di sana, saat Mer dan Asni datang.
Idealnya jika Asni dan Saiful sama-sama setuju, Saiful sudah bisa bertandang langsung ke rumah calon mertuanya. Tapi Asni mendesak Mer untuk mempertemukannya sekali lagi dengan calon suaminya itu, untuk mengonfirmasi apa yang ia dapatkan dari perbincangan dengan dua istri Saiful.
Basa-basi ketiganya dimulai, kali ini teman Saiful tak diminta hadir. Setidaknya masih ada Mer yang menjadikan Saiful tak berduaan dengan Asni.
“Begini ... mohon maaf sebelumnya. Ana hanya ingin mengonfirmasi kebenaran, apakah yang disampaikan Kak Latifah dan Kak Sasi benar adanya.” Suara Asni nyaris tak terdengar, kalau saja rumah itu tidak berada di lingkungan yang hening.
“Memangnya mereka bilang apa?” Saiful melirik sekilas pada Mer, yang pura-pura tak tertarik dengan obrolan mereka.
“Kata mereka, Bang Saiful jarang bangun pagi, temperamen, candu hap—“
“Haha, itu hanya ucapan kosong!” potong Saiful cepat. “Anti kan perempuan, taulah watak sesama kalian. Perempuan itu pencemburu, bisa melakukan apa saja untuk menjauhkan suaminya dari perempuan lain. Anti pernah dengar kisah Bunda Aisyah dan Hafshah?”
Asni mengangguk berulang. Mer masih bertahan dengan ekspresi tak peduli, menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
“Anti bisa buktikan sendiri nanti. Abang yakin, kamu pun akan seperti mereka kalau Abang menambah yang keempat. Tapi itu kemungkinan besar tak akan terjadi. Tiga saja cukup.” 
Ucapan Saiful di telinga Mer lebih terdengar seperti gombalan, apalagi ketika laki-laki itu membahasakan diri abang dan mengubah anti menjadi kamu. Hal itu tak berlaku bagi Asni, nyatanya ia pilih melanjutkan proses taaruf ke tahap berikutnya. 

Maka terjadilah pernikah Saiful yang ketiga kalinya.

Pesta sederhana dilangsungkan. Latifah dan Sasi tak ada di sana, tapi anak-anak mereka dihadirkan untuk menemani sang ayah. Tak semua, namun itu cukup membuktikan pada para undangan bahwa rumah tangga Saiful baik-baik saja.

Kehidupan berjalan seperti biasa. Tak ada yang spesial, terutama bagi Latifah. Sejak Saiful mengenalkan Sasi padanya, kehadiran Asni bukan apa-apa. Dua perempuan yang dipersaudarakan itu justru jadi semakin akrab dari hari ke hari.
“Kak, sepertinya kita harus bantu Bang Saiful dapatkan yang keempat. Kurang bebanku sejak ada Asni.” Nyaris terbahak Sasi menyampaikan idenya pada Latifah.
Belum sempat Latifah menjawab, ponselnya berdering. Dua perempuan itu melihat nama yang tertera di sana. Asni.
“Kak ... saya kira kakak berdua nggak serius kemarin itu.” Suara Asni terdengar agak parau.
“Kukira dia bakal ngeluh setelah dua bulan, seperti kamu. Ini baru dua pekan!” bisik Latifah pada Sasi.
“Tolong ajak Bang Saiful ke rumah Kak Latifah.” Suara Asni makin serak.
Latifah tak menjawab, ia justru menekan tombol loud speaker
“Kalau Kakak gak mau, saya telepon Kak Sasi saja, ya.”
Lalu ledakan tawa Sasi pun terdengar oleh Asni. 
“Telepon Kak Mer ajaaa!” balas Latifah dan Sasi bersamaan.

Kamu punya cerpen juga? Gak harus cerpen tentang poligami, pernikahan atau apa pun yang berbau rumah tangga. Yang penting enak dibaca. Kirim ke sini, ya!

4 comments

  1. Kaget bin terperanjat baca opening dari judulnya, menggelitik dan bikin baper kalau dilanjutkan cerita poligami ini. ada kocaknya juga ada banyak mikir gimana-gimana begitu haha. aku berharap ending dari semua itu hanyalah mimpi.

    ReplyDelete
  2. Loohh kok ga ada lanjutannya..ada2 aja idenya penulis nih...

    ReplyDelete
  3. Aku belum pernah sih nulis tema poligami, beberapa cerpen emang aku tulis juga di blog, tapi yang udah pernah diterbitkan aja

    ReplyDelete
  4. Jarang saya liat ada cerpen bertemakan poligami, seru bacaannya,, jadi pengen nulis fiksi lagi, udah lama gak nulis fiksi

    ReplyDelete