Contoh Cerpen Pendidikan yang Ringan tapi Menarik

Kalau baca kalimat “contoh cerpen pendidikan”, kesannya kayak “Oh ini cerpen tentang sekolah, semacam jadi murid yang baik dan benar gitu!” kamu keliru.

Karena pendidikan itu kan gak harus urusan sekolah. Tapi cerpen yang akan kamu baca ini ada bau-bau sekolahnya sih! Tepatnya sekolah sebelum covid menyerang.

Meski ringan, cerpen ini sebenarnya mengandung pendidikan moral yang remeh tapi penting. Apa itu? Baca aja sendiri!

contoh cerpen pendidikan

Totol di Seragamku

Tidak seperti pagiku pada umumnya, hari ini aku berangkat dengan jalan kaki ke sekolah. Dan tidak seperti pejalan kaki pada umumnya, aku berjalan dengan baju yang dipenuhi totol-totol merah dengan corak abstrak yang tidak memiliki makna. 

Itu jelas bukan seragam khas hari Senin anak sekolahan.  

Bajuku menjadi lain sendiri ketika beberapa menit yang lalu aku berjalan di bawah pepohonan rindang yang masih meneteskan sisa-sisa air sehabis diguyur hujan.  

Aku melewati pepohonan, sesekali menghirup udara yang masih segar. Mataku teralihkan ketika menangkap setetes warna merah di tanganku, lalu disusul beberapa tetes warna merah lainnya yang menabrak bajuku.

“Kalau itu tetesan air, enggak mungkin warna merah,” gumamku sambil berpikir.  

Badanku seketika merinding, membayangkan makhluk seperti apa yang ada di atas sana. Makhluk dengan gaun putih yang dipenuhi darah yang berlebihan, atau pocong menyeramkan yang mengeluarkan darah dari matanya. Yah, kedua makhluk tak kasat mata itu merupakan dua jenis hantu yang paling aku hindari dan takuti.
cerpen tema sekolah
Aku menggerakkan mataku perlahan-lahan, sekalian mempersiapkan diri jika ada bentuk-bentuk tak terduga dari atas sana. Mencoba memberanikan diri, aku melihat ke daun-daun hijau yang berada agak jauh dari kepalaku. Mataku refleks berkedip ketika merasakan tetesan air masuk ke mataku. 

Aku tidak sempat melihat warna dari tetesan itu. Jika itu darah dari si hantu, bisa jadi aku akan kesurupan sebentar lagi. Atau merasakan orang yang sedang bergelantungan di punggungku. Huf! Pikiranku tidak bisa bekerja sama dengan hatiku yang sedang sangat ketakutan sekarang. 

Sepertinya tetesan itu membawa sedikit serpihan kayu bersamanya. Mataku terasa sakit dan perih, aku sangat yakin mataku yang sebelah kiri ini sudah berwarna merah jika dibuka.

“Aww, sakit sekali! Tetesan apa tadi yang mengenai mataku?”

Semakin kugosok menggunakan tangan, semakin rasa perih itu menjadi-jadi, lalu diikuti rasa hangat yang perlahan-lahan mulai berubah menjadi panas. 

Aku sudah tidak peduli lagi dengan bentuk atau hal-hal yang ada di atas sana. Membuat mataku menjadi normal kembali, sepertinya jauh lebih penting.

Aku teringat sekarang, aku lagi di mana. Di jalan setapak menuju ke sekolah. Astaga! Aku lupa bahwa saat ini aku sedang berjalan kaki ke sekolah. 

Kebiasaan diantar oleh Ayah membuat berjalan kaki sama dengan sedang tidak berangkat sekolah. Yah,  kurasa itulah rumus yang ditangkap kepalaku tadi. 

Ramainya orang yang berjalan menuju gerbang, membuat rasa maluku semakin besar. Beberapa orang sudah menyadari tentang bajuku yang memiliki totol-totol merah tanpa makna. 

Untungnya tidak ada yang bertanya dengan rumus  ADIKSIMBA (apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, bagaimana) mereka hanya melihat, memasang raut heran, memperhatikan, lalu mengabaikan. Tapi tetap saja itu membuatku malu dan memiliki niat untuk pulang ke rumah dan mengganti bajuku segera.

Tapi syukurlah itu hanya sebatas rencana dari kepala, yang tidak berani kulakukan. Bisa-bisa Ayah marah dan menjewer telingaku sampai merah,  ketika tau aku tidak sekolah dengan alasan totol-totol merah ini.

Entah bagaimana aku sudah berada di kelas sekarang. Rasanya waktu berjalan begitu cepat tadi. Aku sudah berhasil melewati tatapan keheranan dari mereka. 

Aku duduk di bangku paling depan.  Jangan tanya kenapa, karena semua orang di sini sudah tau kalau mataku tidak bisa melihat papan tulis dengan jelas.

Apalagi aku yang tidak memiliki kacamata, rasanya duduk di bangku paling depan saja masih belum cukup. Aku sangat ingin membeli kacamata minus, tapi Ayah belum ada uang. 

Ya sudahlah, setidaknya aku masih bisa meminjam catatan kawan dan memilki telinga untuk mendengar penjelasan guru.

Pulang sekolah, waktu yang paling kutunggu sepanjang sejarah aku sekolah. Bunyi bel berdering bagaikan siraman air ketika aku habis berlari keliling lapangan saat pelajaran olahraga. Begitu menyegarkan dan membahagiakan.

Kaki yang ingin melangkah ke parkiran motor tempat Ayah biasa menjemput, aku urungkan. Teringat dengan jalan setapak untuk jalan kaki ke rumahku. 

Rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah, kalau aku kira-kira, mungkin jaraknya 3 kilometer. Tapi itu hanya perhitungan dari anak SMP yang mendapatkan nilai matematika sepuluh besar terendah di kelas. Sangat memiliki peluang untuk tidak pas dan akurat.

Ketika berjalan pulang, entah kenapa aku kembali teringat dengan kisah di tadi pagi. Mataku membaik secara perlahan ketika aku memutuskan berlari ke sekolah karena takut telat. 

Aku kembali membayangkan bentuk makhluk atau hal-hal yang membuat bajuku bertotol-totol merah. Pohon itu berada beberapa meter di depan sana. Ada keraguan untuk kembali berjalan di dekat pohon itu, tapi ini adalah satu-satunya jalan untuk aku bisa sampai ke rumah. 

Tidak ada pilihan lain selain melewati pohon totol itu dan mengetahui penyebab pohon itu membuat corak yang kudapat secara gratis di bajuku.

Aku melihat ke deretan daun di atas. Kali ini sedikit menutup mataku dengan telapak tangan, mencari sesuatu yang memiliki warna merah di atas sana. 

Entah kenapa ketakutanku mulai menghilang. Mungkin ini pengaruh dari siang hari. Dan itulah dia, sekantong minuman seribuan yang biasa dibeli anak SD. Minuman berwarna merah yang tergantung di atas sana. 
contoh cerpen siswa smp
Kurasa hujan tadi pagi membuat minuman itu penuh dan sedikit tumpah. Tetesan minuman itu menetes dengan indah  di seragamku, membuat aku memikirkan segala kemungkinan yang tertuju kepada makhluk tak kasat mata. Membuatku malu dan membuat aku sakit mata. 

Semoga saja motor Ayah yang kempes itu sudah bagus esok hari, sehingga aku tidak berjalan kaki lagi ke sekolah.
😽😽😽

Cerpen yang kukategorikan sebagai contoh cerpen pendidikan di atas, merupakan karya salah seorang siswa SMP Negeri 28 Batam, Kepulauan Riau.

Kalau boleh ditebak, Lirin, sang penulis mungkin bukan pengguna kacamata minus. Dan dia tidak melakukan riset. 

Kata “riset” terdengar wow dan nyusahin. Cuma cerpen kurang dari 1000 kata pakai riset segala? Yup! Risetnya juga gak berat kok.  

Sebagai orang dengan mata normal, atau mungkin minus yang belum seberapa, Lirin tidak tau kalau mata minus itu bukan cuma tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi juga pusing jika tidak menggunakan kacamata atau lensa kontak yang sesuai. 

Jadi bukan hanya tak bisa membaca, melainkan sulit konsentrasi juga! Sehingga kalau si tokoh dalam cerpen tsb memang mengalami mata minus, dia tidak hanya duduk di depan, bahkan dia tidak bisa pergi sekolah tanpa kacamata. 

Apalagi kalau selain minus, mata tokohnya silinder juga. Ya Allah, silau! Lah ini kenapa jadi curcol? Ya udah, intinya gitu deh!

Selamat ya, Lirin! Hari ini juga pulsa yang dijanjikan mendarat ke nomormu. Terima kasih atas kiriman (contoh) cerpen pendidikannya!

Cerpen Pilihan Sebelumnya

3 comments

  1. Iyaaaa kerenn padahal tulisan anak SMP. Lucunya pagi-pagi yang dia bayangkan hantu, pocong, dkk 😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. justru "apa adanya" khas bocah itu yg bikin cerpennya kumuat. dia gak muluk2, gak menggurui. dah cerita aja, simpel.

      Delete
  2. Wah bagus cerpennya untuk anak seusia Lirin ,pantes untuk dapat hadiah pulsa walaupun ada kekurangan tapi bagus lho ku saja takjub bacanya hehe semangat ya buat Lirin

    ReplyDelete