Cerpen Ibu dan Anak

Akhirnya, ada satu cerpen yang lolos kurasi setelah terbit aturan baru. Cerpen tentang ibu dan anak karya Muntianah. Kisahnya sederhana, tapi gak standar standar amat. Dan si penulis dengan senang hati mengirimkan surat pernyataan orisinal, sesuai ketentuan yang kutulis di sini, supaya kejadian semacam ini gak terulang lagi. Kuy baca cerpen keluarga kiriman pembaca iluvtari!

Cerpen Ibu dan Anak: Undur-Undur

cerpen ibu dan anak

Suara jangkrik meraung dalam gelapnya malam. Semilir angin menerpa wajah-wajah para tuan yang berkeliaran. Jingga temaram obor di depan teras rumah berdinding bambu beratap jerami.

"Mak, ayo turu!" seorang anak berkata penuh semangat, kedua tangannya menarik-narik tangan ibunya. 

Dengan muka lelah terpatri, Emak menoleh sekilas lalu mengangguk. Melepas pelan tangan yang menggaetnya. Diambilnya tikar sedang berbahan mendong, lalu membentangnya di atas lantai tanah liat. Berbaringlah mereka sampai bunga tidur menghampiri.

Sayup-sayup sinar mentari muncul tanpa henti, menyinari seisi bumi. Daun-daun basah sebab embun malam masih melekat. Bunyi tali bergesekan ditimbulkan saat Emak mengambil air di sumur belakang rumah. Kain jarik bermotif acak melilit tubuhnya, kaki jenjangnya tak beralaskan sandal.

Rurung berpamitan kepada Emak untuk pergi mencari belut di sawah bersama teman-teman. Tiga orang anak, termasuk Rurung, berjalan di atas pematang sawah yang becek.

Muka mereka menyiratkan bahagia teramat dalam, sebab hari ini adalah hari Minggu yang ditunggu-tunggu. Bebas dari tugas sekolah, dan tidak bertemu para pengajar tanpa tanda jasa.

Ujang memberi tahu Rurung bahwa ada lubang di pematang sawah di bawah kakinya. Tanpa alat, mereka menggali lubang itu hingga dalam. Seekor belut mungil mereka dapatkan. Darman yang bertubuh gempal hanya mematung melihat kedua temannya menggali lumpur.
Hari mulai siang, mereka memutuskan untuk pulang dengan dua belut di setiap genggaman tangan. 

Rurung memanggil Emak yang sedang menyapu teras menggunakan sapu lidi.

"Walah, ge engko bengi ae, Rung!" 

"Dimasak saiki wae, Mak!" 

"Yowes."

Datanglah sore tanpa diundang. Saat ini Rurung sedang bermain pasir di samping rumah. Tangan mungilnya mengumpulkan pasir sampai tinggi untuk kemudian diambil sedikit. Dijadikanlah itu membentuk kotak-kotak yang di dalamnya ada ruang-ruang bersekat. Ada pintu masuk, pintu keluar, dan masih banyak ruang-ruang impian.

Kerut wajah Rurung terlihat jelas saat gundukan pasir berguguran. Hewan kecil keluar, berjalan mundur tanpa menengok sedikit pun.

"Mak, opo iki?" Rurung berteriak histeris memanggil Emak.

Emak cemas, berlari menghampiri anaknya. Menoleh ke kanan dan ke kiri melihat situasi. Tidak ada bahaya, namun kenapa anaknya berteriak seperti itu?

"Opo?"

Rurung menunjuk beberapa ekor hewan kecil yang keluar dari gundukan pasir. "Kui lo, Mak?"  tanyanya. "Tak delok kok apik juga," lanjutnya.

"Kui undur-undur, Rung," jawab Emak, mendengus singkat. Ia kira kenapa, ternyata hanya karena ini?

"Sesok gede aku jadi koyok ngunu, Mak."

"Undur-undur emang istimewa, tapi Mak harap awakmu ora dadi  koyok dee seng bergerak mundur, Rung. Awakmu i harus bergerak maju ben engko dadi uwong sukses teros dewe tinggal neng omah gede, koyok seng awakmu gawe kui, Rung," tunjuknya ke arah tanah yang berbentuk kotak-kotak.

Rurung langsung saja memeluk Emak erat, dan berjanji kepada dirinya sendiri agar bisa menjadi orang yang sukses dan bisa membangunkan rumah yang megah untuk Emak.

Mereka hanya tinggal berdua saja, sebab ayah Rurung sudah meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan traktor. Takdir memang begitu, yang di bawah akan semakin terperosok sebelum akhirnya terbang tinggi jauh di udara.

Kehidupan terus melaju tanpa tahu takdir apa yang sedang menunggu. Malam siang datang bergantian, sekarang Rurung bersekolah di sekolah menengah atas yang sangat jauh dari rumahnya.

Walaupun begitu, ia tetap semangat agar bisa membahagiakan Emaknya kelak. Gerimis mulai membanjiri jalan kecil yang dilalui Rurung untuk menuju sekolah. Ia berteduh di bawah pohon beringin, mendekap dirinya sendiri. Kedua telapak tangannya kasar karena sering bekerja keras.

Rurung sering diajak orang untuk membajak sawah, menebang pohon, mengangkat beras, bahkan membuat batu bata dari tanah liat. Apa pun pekerjaannya, Rurung menjalaninya dengan ikhlas tanpa mengeluh sedikit pun.

Kedua temannya yang lalu, merantau bersama orang tua mereka. Rurung tidak memiliki teman saat berada di sekolah. Mereka yang kaya selalu menindas yang tidak punya apa-apa. Salah satu orang yang mereka tindas adalah Rurung.

Meski Rurung tidak terlalu berprestasi di sekolah, namun ia selalu bersungguh-sungguh dalam belajar.

"Ini anak yang mandi lumpur setiap petang?"  teriak salah seorang siswa berperawakan tinggi. Bagian bawah seragamnya sengaja dikeluarkan.

Rurung hanya menunduk tanpa minat membalas, sebab nanti ujungnya hanya ada keributan yang didapatkan. Begitulah sampai dia lulus dari sekolah itu, kenyang karena terlalu banyak cacian.

Ia memutuskan merantau ke Palembang untuk menempuh hidup baru,  meninggalkan Emak dengan ragu. Tapi apa boleh buat, ini semua demi masa emas yang akan diraup. 

Karena kejujurannya, Rurung diangkat menjadi sekretaris di sebuah perusahaan gandum dengan gaji yang lebih dari cukup. Hari Senin ini ia akan kembali ke kampung halaman setelah mengambil jatah cuti dari perusahaan.

"Mak, anakmu pulang!"  

Raut wajah Emak terlihat amat bahagia, ujung matanya berkaca-kaca.

"Matur suwon, Rung, wes gawe omah seapik iki." 

"Emang awakmu gak dadi undur-undur, Rung. Tapi ngopo awakmu malah dadi caceng, neng jero lemah." Emak berkata lantang kepada bayangan Rurung yang telah pergi meninggalkan dunia satu bulan lalu. 

Ia pergi meninggalkan kenangan yang teramat dalam di hati Emak. Ibu tua itu memandangi foto anaknya lekat. Mengusapnya pelan, tidak lupa kecupan tanda sayang.

cerpen keluarga tentang kasih sayang ibu
Surat Pernyataan Orisinalitas dari Penulis
Cerpen berjudul Undur-Undur di atas bisa banget kamu buat dengan versi berbeda, kan? Misalnya ibunya yang meninggal atau keduanya sama-sama panjang umur sampai 2090. Suka-suka aja, yang penting menarik dan tidak menyalahi aturan agama maupun norma di masyarakat. Oh ya, gak harus cerpen ibu dan anak juga. Bisa ibu dan ibunya, ibu dan tetangga, atau tanpa ibu ibuan samsek.

Lumayan banyak yang kuedit, terutama yang berkaitan dengan efisiensi kalimat. Peletakan di- yang tidak tepat masih kumaafkan, karena cerpennya pendek saja. Tapi setelah melewati proses editing, karya yang naik insyaallah tidak mengubah inti cerita. Hanya kurapikan, tidak mengubah esensi sama sekali.

Sudah dibayar, mau-maunya aku edit pula. Kenapa? Karena aku menghargai penulis. Dan ... siapa yang mau blognya cemong-cemong dengan karya gaje!

Sudah kucek ke sana kemari, belum ada web yang betul-betul mau mengurusi karya penulis pemula. Yang banyak malah penerbit level comberan yang mengambil keuntungan dari penulis-penulis lugu yang rela keluar duit hanya demi karya mereka dibukukan. Duh!

No comments