Cari di iluvtari

Cepat Lupa Kebaikan Orang tapi Rajin Mengingat Jasa Sendiri

Kalau sedang sakit hati pada seseorang, apa yang kamu lakukan? 

Jika pertanyaan itu ditujukan padaku dalam rangka curhat, biasanya aku menyarankan ybs agar mengingat-ingat kebaikan orang yang membuatnya sakit hati.

Kalau gak ada yang bisa dikenang, kemungkinan interaksi kita dengan orang tsb minim. Jika benar begitu, ya gak usah diambil hati.

Tapi pernah gak kamu ketemu orang yang kalau marah begitu kesumat? Gak cukup maki-maki, dia juga posting keburukan-keburukan “musuh”-nya di medsos. Jika bertemu orang lain, bahkan di dunia maya, akan dibahasnya dan dibukalah aib rivalnya meski ybs adalah saudara atau keluarganya sendiri.

Nah, karakter ini yang akan kita bahas!

Tidak Berterima Kasih Sama dengan Tidak Bersyukur

Sekarang kita arahkan “kamera” ke diri sendiri. Pernah gak berusaha mengingat kebaikan orang lain saat kita sakit hati? Jika orang itu adalah orang yang dekat atau kerap berinteraksi dengan kita, rasanya mustahil tidak ada kebaikannya sama sekali.

“Ada sih, tapi biasa aja. Emang itu kewajibannya!” 
“Cuma kadang-kadang aja dia baik.”
“Alah, paling baiknya cuma ngasih tumpangan, ….”

Kalau jawaban kita lebih kurang seperti di atas, artinya kita yang bermasalah. Karena poinnya adalah: kebaikan orang tsb ada! Kita yang melupakannya.

Sikap paling dasar dalam hubungan manusia adalah berterima kasih. Bukan sekadar ucapan, tapi rasa syukur di hati. Rasa terima kasih punya dampak besar dalam hubungan sosial. Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa gratitude membuat hubungan lebih langgeng, menumbuhkan rasa percaya, dan bahkan bisa memperbaiki konflik.

Robert Emmons, seorang profesor psikologi yang banyak meneliti soal rasa syukur, menyebutkan bahwa orang yang terbiasa berterima kasih memiliki kesehatan mental lebih baik dan lebih jarang terjebak dalam perasaan iri maupun dendam.

Sebaliknya, orang yang tidak mampu berterima kasih cenderung merasa dirinya “selalu kurang”. Ia mudah lupa bantuan orang lain, karena pikirannya lebih sibuk menghitung kekurangan dibanding mengingat pertolongan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,
“Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.” (HR Abu Dawud & Ahmad).

 

melupakan kebaikan orang lain

Jahat Saat Marah

Marah itu wajar. Tapi cara seseorang mengekspresikan marah menunjukkan tingkat kedewasaannya. Ada orang marah tapi tetap menjaga batas, dan ada juga yang kalau marah berubah jadi versi paling jahat dari dirinya.

Fenomena ini dalam psikologi dikenal dengan istilah emotional hijacking, diperkenalkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (1996). Saat emosi meluap, bagian otak yang bertugas berpikir jernih (neokorteks) “direbut” oleh amigdala—pusat emosi. Hasilnya, logika kita seperti mati, kata-kata dan tindakan jadi semaunya.

Ada lagi yang namanya negativity bias: otak manusia lebih fokus pada hal-hal negatif dibanding positif. Jadi saat marah, semua kebaikan orang lain seperti “terhapus,” sementara keburukan-keburukannya diputar ulang mulus banget di kepala kita.

Percaya deh, itu bukan semata kerjaan tubuh kita. Ada iblis yang menunggangi, sehingga sisi-sisi kesetanan kita kayak dikasih makan yang banyak. Wow!

Orang yang jahat saat marah sering mengungkit semua hal buruk lawannya, seakan lupa kalau sebelumnya pernah juga menerima kebaikan. Ironisnya, banyak yang menganggap ini kebanggaan. Pede posting begini: “Kalau gue udah marah, gue bisa lebih jahat!”

Padahal, kalau dibaca pakai kacamata psikologi, itu bukan tanda kuat, melainkan tanda tidak mampu mengendalikan diri.

Kita perlu ingat, bahwa yang bisa sakit hati itu bukan hanya kita, tapi semua orang. Jika dalam keadaan marah kita lepas kontrol dan menghina orang habis-habisan, artinya kita sudah zalim. 

"Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, karena sesungguhnya tidak ada hijab (penghalang) antara doanya dengan Allah." (HR Bukhari dan Muslim).

Misal nih, hidup kita kok susaaah terus. Ada aja masalah. Selain koreksi ibadah, coba cek kebiasaan kita. Jangan-jangan kita sering menzalimi orang. Mungkin memaki, menahan hak orang lain, mengumbar aib, dll.  

Siapa tau di antara orang yang kita zalimi itu, ada yang mengadu ke Allah. Kalaupun tidak didoakan buruk, kita tetap berdosa ke ybs. Bukannya makin ngeri kalau dia minta tebusan di akhirat?

marah berlebihan

Mengungkit Pemberian

Satu lagi sifat yang sering muncul barengan dengan lupa kebaikan orang lain adalah rajin mengungkit jasa sendiri.

Dalam psikologi ada konsep bernama moral licensing. Ini adalah kecenderungan manusia untuk merasa “punya izin moral” setelah berbuat baik. Misalnya:
“Aku kan sudah bantuin dia dulu, jadi wajar dong kalau aku ngomel sekarang.”
“Aku sudah sering nolong, jadi sesekali aku boleh kasar.”
Singkatnya, kebaikan dijadikan alasan untuk menjustifikasi perilaku buruk berikutnya.

Selain itu, mengungkit pemberian juga bagian dari power play, yakni ingin memastikan dirinya ada di posisi “lebih tinggi” dibanding orang yang dibantu. Tujuannya sederhana: supaya penerima bantuan merasa berutang budi dan tidak bisa menolak permintaannya atau melawan saat dizalimi.

mengungkit pemberian

Kita bukan gak tau kalau perbuatan tsb melukai orang lain, tapi kita kadung kecanduan dengan perasaan dihormati dan ditakuti. Kalau dilakukan berulang-ulang bukannya kita sedang memupuk kesombongan?
Padahal di surga gak ada loh orang sombong!

Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang ada kesombongan seberat biji sawi di dalam hatinya.” 
Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya semua orang senang bajunya bagus, sandalnya bagus (apakah itu kesombongan?)” 
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”  (HR Muslim, no. 2749). 


Dari mengungkit-ungkit, merasa lebih, nantinya mungkin kita akan bilang, "Kalau bukan karena aku, mana bisa dia begitu!" Beuh, menuhankan diri dong! Na'udzubillahi min dzalik, udah bau iblis banget tuh.

Selamatkan Diri!

Dalam psikologi, ada yang namanya self-serving bias, yaitu kecenderungan mengingat peran diri sendiri dalam keberhasilan, tapi melupakan kontribusi orang lain.

Kalau berhasil menyelesaikan sesuatu, ia meyakini bahwa itu adalah berkat kerja kerasnya. Sebaliknya jika gagal, ia mantap menyalahkan orang lain.

Dalam hubungan sosial, bias ini membuat seseorang lebih rajin menghitung kebaikan dirinya daripada menghargai kebaikan orang lain. Otaknya otomatis menyusun ulang memori supaya dirinya terlihat lebih hebat.

Menurut Myers & Twenge (Social Psychology, 2019), self-serving bias ini umum terjadi. Namun, tentu saja memberi dampak negatif di antaranya: membuat seseorang sulit melakukan introspeksi, tidak mau mengakui kesalahan, selalu menyalahkan orang lain, dan menghambat perkembangan diri karena tidak belajar dari kesalahan.

Kalau kamu merasa punya kecenderungan demikian, kamu tau harus ngapain. Ya tobatlah, apa lagi? Semua kebaikan yang kita lakukan, itu semua atas kehendak Allah. Rezeki yang kita beri ke orang lain, itu maunya Allah disalurkan lewat tangan kita.

Biasakan mengingat kebaikan-kebaikan orang lain, dan lekaslah lupakan kebaikan diri sendiri agar terbit keikhlasan—walau gak mudah.

Tapi … kalau kamu merasa ada orang lain di sekitarmu yang punya tabiat seperti yang kujabarkan di atas … sebaiknya jaga jarak sih. Gak usah dimusuhi, tapi gak perlu jadi karibnya. Toksik!

Lebih baik menjaga kewarasan dengan hidup yang tenang walau gak mewah. Fokus ke diri sendiri. Ibadah sebanyak mungkin, makan enak, tidur yang cukup.

No comments