Cerpen Singkat Tentang Kehidupan

Hai hai! Akhirnya ada cerpen yang terjaring lagi untuk dimuat di iluvtari. Cerpen singkat tentang kehidupan. Dikirim oleh Wiwik Arianti dari Jawa Timur pada 29 Juni lalu. Kirim Juni baru muat Agustus? Begitulah.

Alhamdulillah yang mengirim cerpen ke iluvtari cukup banyak. Jadi memang harus disortir dulu mana yang sekiranya layak. Gengs, aku gak muluk-muluk kok! Yang simpel aja, namanya juga cerpen, “ruang”nya terbatas.

Kamu bisa kirim cerpen tentang kehidupan pribadi, misalnya. Tapi cerpen, ya! Jadi tetap mainkan imajinasi, bukan curhat. Atau kirim cerpen singkat tentang kehidupan sehari-hari, tentang Corona, pokoknya apa saja. Yang penting bermakna!

Seperti cerpen berikut ini, singkat dan sederhana. Cerpen tentang kehidupan seseorang yang pernah jatuh, lalu mendapat hidayah. Mungkin bisa digolongkan sebagai contoh cerpen motivasi. Kamu aja yang putuskan, setelah membacanya!

cerpen singkat tentang kehidupan

Aku menutup pintu dengan hati-hati. Aku tak ingin ibuku bangun dan terganggu tidurnya. Walau kepalaku terasa amat berat, kupastikan pintu itu terkunci rapat.

“Baru pulang?” suara Ibu mengagetkanku.

“Maman, kenapa bangun? Tidurlah lagi! Aku masuk kamar dulu, ya,” gelagapan aku menjawab pertanyaan dari orang yang amat kukasihi itu. 

Dengan cepat, aku berjalan menjauhinya. Aku tak ingin ia mencium bau alkohol yang keluar dari mulutku.

Sebelum aku menghilang dari balik pintu kamar, kutengok ibuku lagi. Syukurlah, ia tak curiga dan sudah masuk kamarnya lagi. Kuhempaskan tubuhku yang amat penat ini ke atas kasur.

Seingatku, aku menghabiskan tiga botol bir di nightclub tadi. Sebagai ucapan terima kasih, pemilik nightclub memberiku free beer karena berhasil memperbaiki sound system mereka yang rusak. Ah, hati kecilku sebenarnya ingin menolak. Tapi pikiranku yang sedang kalut seakan memaksaku menerima tawaran itu. 
 
Setelah sarapan chakchouka lezat buatan ibuku, aku pergi keluar. Kucium pipinya sebelum aku menghilang di balik pintu. Dan seperti biasa, ia merapalkan doa mengiringi langkahku. 
Maman, je t'aime beacoup. 

Aku tinggal berdua saja dengan ibuku. Kedua kakakku telah menikah dan tinggal bersama keluarga mereka masing-masing. Tiap akhir pekan mereka selalu berkunjung ke sini bersama keluarga mereka. Rumah jadi ramai karena celotehan anak-anak mereka yang lucu-lucu.

Sebenarnya sudah sering kedua kakak perempuanku meminta agar Ibu tinggal bersama mereka. Tapi Ibu selalu menolak. Beliau ingin tetap tinggal di rumah yang penuh kenangan bersama almarhum ayahku. 

Keinginan Fatiha dan Salima, kedua kakak perempuanku itu, mereka utarakan lagi beberapa waktu yang lalu. Kali ini dengan amarah yang luar biasa. Saat itu secara tak sengaja mereka melihatku keluar dari nightclub. Parahnya lagi, saat itu aku berjalan sempoyongan.

"Didou, dari mana saja kau tadi malam?" Fatiha menanyaiku, setelah aku baru saja selesai mandi keesokan paginya.

Aku melirik jam di dinding. Pukul 12.00, dan ini bukan akhir pekan. Kenapa Fatiha dan Salima  ada di sini, tanyaku dalam hati. 

"Dari rumah teman. Kenapa?”

"Jangan bohong! Kau tak tahu Ibu sakit? Ibu muntah terus mulai siang sampai malam. Kau ditelepon tak tersambung. "

Aku terkesiap. Refleks aku berlari ke kamar Ibu. Kudapati beliau sedang tidur. Wajahnya nampak pucat. Oh, Maman …. Maaf, HP-ku tertinggal di rumah teman kemarin. 

Aku keluar kamar Ibu. Di ruang tamu, kedua kakak perempuanku duduk bersama suami mereka masing-masing. Baru kutahu kalau mereka baru pulang dari mengantar Ibu ke rumah sakit. 

"Didou, biarlah Ibu ikut aku atau Fatiha. Kami bisa menjaga beliau dua puluh empat jam," Salima mengawali pembicaraan.

"Tidak!"  tukasku keras. "Aku bisa menjaga Ibu. Hanya kemarin aku pergi begitu lama. Ada sesuatu  yang harus diselesaikan."

"Bagaimana kau bisa menjaga Ibu, kalau kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri!" Kali ini Fatima nampak mulai menyerangku.

"Apa maksudmu?" Aku menoleh pada Fatima.

"Kau pikir kami tak tahu kau sering minum-minuman keras?” suara Fatima meninggi.

"Aku sudah mulai akan berhenti. Aku optimis, Fatima. Aku hanya menunggu hidayah Allah akan datang."

"Cis, bullshit!" Fatima membuang muka.

Dan begitulah. Kami kembali terdiam dengan pikiran masing-masing. Sungguh aku tak rela jika Ibu tidak ada di sampingku. Untuk menemaninya tiap hari, aku rela bekerja dari rumah. Aku hanya menerima dan mengerjakan orderan servis HP di rumah. Hasil pekerjaanku yang bagus membuat namaku cukup dikenal di kotaku. 

Siang yang berdebu di tahun 2019, jalanan penuh sesak dijubeli orang yang berdemonstrasi. Entah untuk keberapa kalinya dalam dua bulan ini, Maret-April. Aku sampai jenuh melihatnya. Toko-toko jadi banyak yang tutup, lalu lintas macet karena jalanan juga banyak yang diblokade polisi.

Hiruk pikuk mereka yang berdemo mengiringi langkahku menuju rumah seorang teman. Sengaja aku tak ikut demo kali ini. Ya karena itu tadi. Bosan dengan protes yang berjilid-jilid ini.

Caci maki dan sumpah serapah dilontarkan demonstran yang menuntut pemerintah mundur dari kekuasaan mereka. Ah, sebenarnya aku juga muak dengan mereka yang serakah menggerogoti kekayaan negeri ini.

Algeria, sebagian menyebut negaraku ini dengan Aljazair. Negeri di benua Afrika yang terkenal sangat indah. Pantai-pantai yang eksotis dengan hamparan pasir putih bagaikan surga bagiku. Selalu kupuaskan hasrat berenang kala musim panas tiba. 

Negeriku juga kaya. Cadangan minyak bumi yang berlimpah harusnya membuat penduduknya hidup makmur. Tapi penguasa yang serakah menyedot kekayaan itu untuk dinikmatinya sendiri bersama dengan para kroninya. 

Langkahku terhenti saat melewati masjid . Seseorang memanggilku dari halaman masjid. Aku menoleh, dan kulihat Karim, sahabatku di masa kecil, berjalan setengah berlari ke arahku.

“Kamu Didou, kan? Lama tak jumpa. Ca va?” ia menyalami dan memelukku erat.

“Ca va bien merci. Et toi?” aku balik bertanya.

“Alhamdulillah. Aku baik saja, kawan. Tak kusangka ketemu kamu di sini.”
Ah, Karim. Ia tak banyak berubah. Sikapnya sama sebelum ia kuliah di Canada lima tahun lalu. Hangat dan bersahabat. Ternyata ia pulang dari Kanada seminggu yang lalu. Kuliahnya di University of Windsor telah rampung.

Percakapan kami terhenti saar azan Zuhur berkumandang.

“Sudah azan. Yuk kita salat dulu!” ajaknya padaku.

Aku tersenyum kecut. Masa sih  ia lupa? Sudah lebih dari dua puluh tahun aku tidak lagi mengerjakan salat. Sejak ayah yang sangat kucintai pergi untuk selamanya. 

“Hmm … Didou, aku rindu masa-masa kita kecil dulu. Kita selalu ke masjid saat Ramadan. Kau selalu menjemputku waktu itu. Aku tak mau berangkat ke masjid kalau kau tak datang menjemputku.” Suara Karim tercekat seperti menahan tangis.

“Oke, aku pergi dulu, Karim. Kalau sempat aku akan main ke rumahmu.” Aku berpamitan pada Karim, yang kulihat ada sedikit kerutan di bawah matanya.

Pertemuanku dengan Karim siang tadi membuat ingatanku melayang saat aku berusia 10 tahun. Saat itu, aku dan ayahku baru pulang dari masjid untuk menunaikan salat Jumat. Ayah menggandengku sepanjang jalan pulang. Tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak kami dari arah belakang. Begitu kerasnya tabrakan itu, hingga ayah langsung meninggal di tempat. Kepalanya membentur aspal jalanan yang keras. Dan ajaibnya, tubuhku yang kecil terpelanting beberapa meter dari lokasi tabrakan, jatuh di atas rerumputan tebal yang lunak.

Aku syok, bingung, takut, sekaligus marah kala kulihat ayah hanya terbaring tak bergerak di jalan. Ya, aku marah karena mobil yang menabrak tadi  hilang entah  ke mana. Kami jadi korban tabrak lari.

Sejak kepergian ayahku itulah, aku jadi seperti ini sekarang. Aku yang marah atas keadaan lantas menyalahkan Tuhan. Padahal ayahku adalah orang baik. Kenapa Tuhan mengambilnya begitu cepat. Aku mulai meninggalkan salat. Mulai minum minuman keras saat usiaku 17 tahun. Tapi anehnya, aku tetap puasa saat Ramadan tiba. Kukurangi miras saat Ramadan. 

Tanpa sadar aku menangis. Hei, apa ini namanya? Aku heran. Tagisan ini semakin deras. Ada yang bergemuruh di hatiku. Ada penyesalan yang luar biasa. Ada ketakutan yang dahsyat menyerangku. Aku takut mati!  Dan tiba-tiba, aku tersungkur dan bersujud. Allaah ... apakah ini pertanda Engkau tunjukkan hidayah padaku?

Bejaia, 27 April 2019

cerpen singkat tentang kehidupan

So, kayaknya kamu juga bisa bikin yang selevel atau bahkan lebih baik dari cerpen di atas kan? Kalau mau kirim ke sini, jangan tema yang sama ya! Cerpen singkat tentang kehidupan sudah pernah dimuat, jadi kamu kirim topik yang lain, tapi baca dulu syarat dan ketentuan di sini

1 comment

  1. Kisah yang apik diurai dengan diksi yang menarik...ya mantap...

    ReplyDelete