Sebagian dari kita mungkin merasa sulit bilang "tidak" ke orang lain. Bahkan dalam kondisi yang capek, sibuk, atau gak setuju, tapi tetap mengiyakan permintaan demi menjaga perasaan mereka. Kalau yang begini terjadi terus-menerus, mungkin kita termasuk tipe people pleaser.
Zaman dulu banget (barangkali masih ada sampai sekarang), berkali-kali aku ada di majelis keislaman yang materinya beda tipis aja dengan pelajaran PKn. Isinya normatif: Kamu harus berprasangka buruk pada diri sendiri dan prasangka baik pada orang lain, kamu harus mau berkorban demi orang lain.
Berdalil sih, tapi mungkin karena imanku kurang, aku merasa hal kayak gitu gak sehat. Berpotensi dimanfaatin orang. Apalagi belakangan marak terjadi, tokoh-tokoh yang menjadikan agama sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Aku kayak yang merasa … tuh kan, apa kubilang!
Menjadi baik hati memang bagus, tetapi ketika keinginan untuk menyenangkan orang lain dengan mengorbankan kebutuhan diri sendiri, sepertinya lebih cocok disebut dengan cara mudah merusak kesehatan mental. Kita akan bahas apa itu people pleaser, penyebab psikologis, dampak, dan cara mengatasinya; dari aku—yang bukan ahlinya, wkwk.
Apa Itu People Pleaser?
People pleaser adalah istilah dalam psikologi untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kebutuhan kuat untuk menyenangkan orang lain, bahkan dengan mengorbankan kebutuhan, perasaan, dan batasan diri sendiri.
Menurut psikolog klinis Susan Newman, people pleaser sering merasa bersalah jika menolak permintaan orang lain, takut ditolak atau tidak disukai, dan cenderung mengukur harga diri dari penerimaan orang lain.
Padahal kalau dipikir dengan akal sehat, justru diri kita kayak gak ada harganya kalau harus selalu mengikuti kemauan orang lain. Kayak gak punya nilai, yang membuat orang harusnya mikir kalau apa-apa harus nunjuk kita. Tapi paragraf yang ini mungkin sangat subjektif ya, itu sih isi kepalaku.
Ciri-Ciri People Pleaser
Ini bukan diagnosis diri ya, sekadar meraba-raba, apakah kita tergolong people pleaser? (apa bedanya, kocak!)
- Sulit mengatakan "tidak".
- Selalu setuju meskipun tidak sependapat.
- Takut dianggap egois jika menolak.
- Mendahulukan orang lain secara ekstrem.
- Merasa bersalah jika mengecewakan orang lain.
- Mencari validasi dan pengakuan secara berlebihan.
Mengapa Seseorang Menjadi People Pleaser?
Dalam hal apa pun, biasakan mendulukan why sebelum how to. Kita wajib tau alasannya sebelum cari jalan keluar, supaya esensinya dapet.
1. Pola asuh masa kecil
Anak-anak yang tumbuh dengan harapan tinggi dari orang tua atau menerima cinta bersyarat cenderung belajar bahwa mereka harus "baik" untuk dicintai. Psikolog Carl Rogers menyebut ini sebagai conditional positive regard.
2. Trauma penolakan atau kekerasan emosional
Pengalaman ditolak, dikritik, atau disakiti secara emosional bisa memicu seseorang untuk menghindari konflik dan berusaha keras diterima.
3. Kebutuhan untuk diakui dan dicintai
Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow, manusia memiliki kebutuhan dasar akan cinta dan rasa memiliki (love and belonging). People pleaser memenuhi kebutuhan ini dengan cara menyenangkan hati orang lain.
4. Harga diri rendah (low self-esteem)
Individu dengan kepercayaan diri rendah kerap merasa pendapat atau kebutuhannya tidak sepenting orang lain. Mereka mencari nilai diri dari pujian eksternal.
5. Ketakutan akan konflik
People pleaser sering kali menghindari konflik dengan cara menyetujui segalanya. Menurut teori conflict avoidance, ini adalah bentuk strategi bertahan yang berkembang dari ketidaknyamanan terhadap perbedaan.
Dampak Negatif Menjadi People Pleaser
Sejauh ini mungkin kita merasa aman-aman saja, terutama kamu yang belum nikah atau belum masuk usia 30+. Tapi sebelum makin jauh, coba ingat-ingat, apakah dampak berikut ini ada pada kita?
1. Kehilangan jati diri
Karena terlalu fokus menyenangkan orang lain, seseorang bisa kehilangan pemahaman tentang siapa dirinya, apa keinginannya, dan apa batasannya.
2. Stres dan burnout
Memaksakan diri untuk selalu hadir, membantu, atau setuju bisa menyebabkan kelelahan fisik dan emosional. Studi dari Journal of Behavioral Medicine menyebut bahwa perilaku people pleaser berkorelasi dengan tingkat stres yang tinggi.
3. Hubungan tidak seimbang
Relasi menjadi berat sebelah karena orang lain terbiasa menerima tanpa memberi. Akhirnya, muncul rasa dimanfaatkan atau disakiti.
4. Kemarahan Tersembunyi
Sering menahan diri dapat menumpuk menjadi frustrasi, rasa tidak dihargai, dan bahkan ledakan emosi.
Cara Mengatasi Kebiasaan People Pleasing
1. Sadari pola dan akar masalahnya
Langkah awal adalah menyadari bahwa kebiasaan ini bukan bentuk kebaikan sehat, melainkan ketakutan atau kebutuhan tersembunyi.
Coba tanyakan pada diri sendiri:
- Apakah aku melakukan ini karena kemauanku, atau karena takut ditolak?
- Aku sedang bohong gak sih? Bilang ya, padahal hati nggak.
2. Bangun batasan sehat (healthy boundaries)
Belajar mengatakan "tidak" adalah bentuk perlindungan diri, bukan keegoisan. Batasan membuat relasi lebih sehat dan saling menghargai. Ini juga merupakan kebaikan, untuk kita dan orang lain.
Contoh kalimat: “Maaf, aku sedang gak bisa bantu. Lagi ada urusan.” Kita bahkan gak perlu ngasih alasan, karena poinnya bukan di situ.
3. Tingkatkan self-esteem
Berlatihlah untuk menghargai diri apa adanya, bukan agar diterima orang lain. Terapi kognitif perilaku/cognitive behavioral therapy (CBT) bisa membantu mengubah pikiran negatif tentang diri. CBT bisa kamu lakukan sendiri (cari tau di Google atau mana saja), dengan catatan, masalahmu gak terlalu pelik. Kalau sampai depresi, bahkan sempat terbersit untuk bunuh diri, mending ke psikiater deh!
4. Toleransi terhadap ketidaknyamanan sosial
Menyenangkan semua orang adalah ilusi. Tidak disukai atau ditolak bukan berarti gagal. Belajar menoleransi reaksi negatif orang lain adalah bagian dari kedewasaan emosional.
5. Gunakan teknik assertiveness
Assertiveness adalah kemampuan menyampaikan kebutuhan atau penolakan secara jelas dan sopan tanpa menyerang atau mengalah.
Cara melatih assertiveness:
a. Sadari perasaanmu dulu
Kamu capek? Terganggu? Nggak nyaman? Harus diakui dulu.
b. Gunakan format "Aku merasa ... ketika ... karena ...."
Misalnya:
“Aku merasa kewalahan waktu diminta datang ke suatu tempat mendadak, karena sedang melakukan pekerjaan rumah.”
c. Latihan roleplay
Bisa sendiri (di depan cermin) atau bareng teman yang suportif, bila perlu dibimbing terapis.
d. Mulai dari situasi kecil
Misalnya, menolak ajakan nongkrong yang bikin capek. Nanti naik ke situasi yang lebih sulit (pekerjaan, keluarga, dll.)
6. Terapi dan Bantuan Profesional
Inget, kalau people pleasing sudah nyata merusak hidup kita, dukungan dari psikolog atau psikiater sangat direkomendasikan. Terapi dengan ahlinya bisa membantu menggali akar masalah dan membentuk pola baru yang lebih sehat.
Oke, Gengs … sudah cukup bertahun-tahun jadi lilin. 2030 sebentar lagi, kalau masih hidup dengan perasaan gak enakan, kamu keburu habis sebelum Indonesia Emas 2045. Apaanlaaah!
Referensi
- Newman, S. (2011). The Book of No: 365 Ways to Say It and Mean It.
- Rogers, C. (1951). Client-Centered Therapy.
- Maslow, A. H. (1943). "A Theory of Human Motivation." Psychological Review.
- Journal of Behavioral Medicine (2016). "Perceived stress and its connection to pleasing behavior."
- Alberti, R.E., & Emmons, M.L. (2008). Your Perfect Right: Assertiveness and Equality in Your Life.
Kyk aku trmsuk lah🫠
ReplyDeletesering2lah
Delete