Cerpen Tentang Jomblo

Yes! Terjaring lagi cerpen pilihan untuk dipajang di iluvtari. Kali ini cerpen tentang jomblo. Protes dong hoi! Yang benar itu jomlo, bukan jomblo. Kalau sudah tau, bagus! Kalau belum, ya jadi tau.

Cerpen Tentang Jomblo

Cerpen tentang jodoh (tepatnya, bertema kesendirian) ini dikirim oleh Zai JeeLea. Gak taulah, itu nama asli, nama pena, atau cuma username email. Soalnya aku gak minta foto KK sebagai syarat mengirim cerpen ke blog ini. Tolong jangan tanya-tanya lagi, masih nerima cerpen nggak? Pokoknya selama info ini masih dipajang, berarti masih terbuka peluang untuk kamu mengirim naskah ke iluvtari.

Info terbarunya. Sekarang honor yang receh itu gak cuma dikirim dalam bentuk pulsa, tapi lebih diutamakan berupa saldo Gopay atau LinkAja. Nggak usah tanya alasannya, simak aja cerpen tentang jomlo berikut ini!

Cerpen Tentang Jomblo

Pelaminan yang berwarna merah keemasan itu tampak sangat mewah bagi Laksmi. Warna merah, putih, kuning, dan jingga dari bunga juga turut memperindah pelaminan. Membuat takjub semua orang. 

Musik dangdut menjadi pelengkap acara, tentu saja dengan salon yang memekakkan telinga sekaligus membuat jantung seperti ingin melompat keluar.

Laksmi duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan pelaminan. Sambil menyantap makanan, ia pandangi dua orang yang sedang berbahagia di depannya. Dua sejoli itu saling melempar senyum, sesaat kemudian tertawa. Lalu saling cubit. senggol-senggol mesra. Jujur Laksmi iri sekali. Jika bukan temannya yang menikah ini, tentu saja ia tidak akan datang. 

Dari sembilan puluh sembilan jumlah teman kuliahnya, tujuh puluh tiga sudah menikah. Sisanya sedang taarufan. Sementara Laksmi hanya bisa gigit jari. Belum menikah. Tidak sedang menjalani proses taaruf. Pun juga tidak punya pacar.

Padahal usianya sudah sangat matang, 36 tahun. Jujur, Laksmi sangat ingin dipinang. Teman-temannya kerap bertanya kapan dia akan menikah, pacarnya siapa, dan taarufan dengan orang mana. Mendapati pertanyaan seperti itu, dia hanya bisa tersenyum lalu menjawab, “Aku jomlo.”

Namun teman-teman yang kurang ajar itu bukannya memberikan doa dan semangat, malah saling pamer. Memamerkan kehidupan pernikahan yang digadang-gadang manisnya melebihi gula.

“Loh, kamu belum nikah, ya? Aku malah sudah beranak dua,”

“Anakku sudah kelas lima SD. Yang tengah kelas dua SD, yang kecil masih TK. Ini satu lagi akan lahir ke dunia.”

“Kalau aku sekarang ini belum mau punya anak. Masih ingin berduaan dengan suami.”

“Aku sudah dua kali menikah.”

“Kalau aku sudah punya dua istri.”

“Istriku hamil anak kembar.”

“Sampai kapan kamu mau membujang, Mi?”

“Nggak tahu,” jawab Laksmi datar. Memang siapa yang tahu tentang perkara jodoh selain Tuhan?

“Dicarilah, Mi! Kamu nggak mau kan jadi bujang selamanya.”

“Iya, ini juga sedang dicari,” kata Laksmi nggak bertenaga.

Kalau teman-temannya sudah saling pamer begitu, maka Laksmi akan segera undur diri. Berbekal alasan kucingnya yang belum diberi makan sejak pagi, ia meninggalkan pesta meriah itu, dan juga para tukang pamer. 

Setiap habis datang ke acara pernikahan, Laksmi selalu melamun. Tambak ikan nila di samping rumahnya menjadi saksi, betapa galaunya hati perempuan lajang itu. Bagi Laksmi perkara jodoh memang susah sekali. Ia tak pernah berpacaran sepanjang hidupnya sampai sekarang, tak kenal dengan yang namanya cinta monyet. Tapi sangat sering mengalami cinta bertepuk sebelah tangan. 

Laksmi sering jatuh cinta dengan teman lelakinya. Terkadang dua sampai tiga orang sekaligus bisa ia cinta. Hanya saja Laksmi tidak punya nyali mengakui, sehingga perempuan lain yang akhirnya menjadi pacar lelaki tercintanya.

“Kamu nggak boleh pacaran, Nak!” kata ibunya dulu, saat ia masih berumur sepuluh tahun.

“Kenapa? Kak Ido dan Kak Irin saja pacaran.”

“Mereka kan laki-laki. Sedangkan kamu perempuan, kalau kebablasan gimana? Pokoknya jangan buat malu Ibu dan Bapak!”

Begitulah, untuk menghormati nasihat ibunya tercinta, Laksmi memilih tidak menjalin hubungan dengan teman laki-laki sejak umur sepuluh tahun sampai ia lulus SMA. Saat awal-awal kuliah, Laksmi memberanikan diri mendekati kakak-kakak tingkat yang tampan. Tapi, Laksmi hanya bisa menelan ludah pahit karena mereka sudah punya tambatan hati. Ia kecewa, tentu saja.

Pernah juga teman seangkatan yang ia dekati, lagi-lagi pil pahit yang harus ditelannya. Teman seangkatannya itu ternyata suka pada sahabatnya sendiri. Berpacaranlah mereka. Laksmi merana. Lalu berpikir ia akan menyerah saja. Dan ia memang benar-benar menyerah. Selama empat tahun kuliah, tak pernah lagi memikirkan mencari pacar. Ia hanya fokus pada pekerjaannya, mengkhayal. Mengkhayal tentang lelaki tampan di drama Korea favoritnya. Laksmi senang sekali saat membayangkan itu.

Namun kecanduan menonton drama Korea tak baik juga. Laksmi jadi sering galau sendiri. Setiap berjalan seorang diri di koridor kampus, terbayang Kim Soo Hyun berjalan di sampingnya. Setiap makan di kantin, terbayang Hyun Bin makan mi ayam di depannya. Apalagi saat naik motor, terbayang Lee Min Ho yang memboncengnya. Ketika ia sedang tiduran di kasur, terbayang Lee Jong Suk tidur di sampingnya. Kalau sudah begitu, Laksmi jadi merindukan kehadiran belahan jiwa. 

Maka dengan perasaan menggebu, ia bertekad nikah muda. Menikah setelah lulus kuliah, titik! Itulah harapan terbesarnya. Namun, setelah acara kelulusan, lelaki tak kunjung meminangnya. Sampai sekarang.

Laksmi memang tidak cantik, tidak juga jelek. Wajahnya biasa-biasa saja. Tetapi tubuhnya tinggi semampai. Padat berisi. Lekuk tubuhnya lumayan aduhai. Apalagi kalau sudah pakai bikini, pasti banyak lelaki yang akan menggoda Laksmi. 

Pernah terbesit beberapa kali di pikirannya untuk menjadi pelakor. Menggoda suami tampan dan kaya yang lemah imannya untuk berselingkuh. Tapi itu tak pernah dilakukannya. Laksmi takut memikirkan akibatnya. 

Pernah juga berbesit ingin jadi istri kedua dari pengusaha kaya raya. Ah, istri pertama wataknya tidaklah sebaik yang sering muncul di sinema TV, katanya. Alhasil dikuburnya lagi keinginan itu.

Hari ini adalah pernikahan ke-98 yang ia datangi. Bernuansakan putih, acara pernikahan hari ini elegan sekali. Ia selalu mengambil tempat duduk yang berhadapan langsung dengan pelaminan. Setidaknya ia ingin merasakan sedikit kebahagiaan jadi pengantin, sekalipun rasa itu samar.

Teman-teman kurang ajar itu datang lagi, duduk semeja dengan Laksmi. Bertanya lagi. Pamer lagi. 

“Sisa kamu yang belum nikah loh, Mi.”

“Dian juga belum,” kata Laksmi membela diri.

“Aku minggu depan, Mi. Nih, datang ya! Wajib.” Teman Laksmi yang dipanggil Dian itu menyerahkan undangan ke Laksmi. 

“Iya, diusahakan,” jawab Laksmi, buru-buru memasukkan undangan ke dalam tasnya.

“Minggu depannya lagi kamu ya, Mi,” kata teman lelakinya yang punya dua istri, bernada menyuruh.

“Kalau ada jodohnya,” jawab Laksmi.

“Jodoh jangan ditunggu. Tapi dicari.”

“Iya, iya. Nanti dicari,” kata Laksmi tak acuh.

“Nikah jangan ditunda. Kalau ditunda terus, keduluan aku punya cicit baru kamu nikah.”

“Kalau ada yang ngajak nikah, langsung terima aja!”

“Benar, Mi. Siapa pun orangnya, langsung terima aja.”

“Antaran nggak penting. Yang penting tidur tidak sendiri lagi.”

Karena tak tahan terus dipojokkan, Laksmi buru-buru menghabiskan minumannya lalu berkata, “Ikan nilaku belum diberi makan. Aku pulang dulu, ya!”  Laksmi pun bergegas pulang meninggalkan teman-temannya.

Selepas mengganti gaun merahnya dengan daster, Laksmi duduk di tepi kolam ikannya. Sudah pasti ikan nila yang belum diberi makan hanya alasan untuk menyudahi sakit telinga dan sakit hatinya.

“Jadi cuma aku yang belum nikah?” tanyanya pada diri sendiri.

“Kamu nggak jadi ke kondangan, Mi?” tanya Ibu yang datang dari pasar.

“Baru saja pulang,” jawabnya.

“Cepat banget.”

“Ngapain lama-lama?”

“Ya sudah, bantu Ibu masak!” 

Laksmi segera bangkit, mengekor ibunya ke dapur.

“Semenjak Ayah kamu meninggal, Ibu jadi kesepian. Nggak mungkin rasanya nikah lagi di usia Ibu yang hampir kepala enam. Ibu mau cucu saja.”

Laksmi menarik napas panjang, sambil mengurut dada. Ingin rasanya ia menangis, meraung di hadapan Ibu. Tapi ia takut ibunya terkena serangan jantung.

“Kamu sudah tiga puluh enam tahun. Ibu saja dulu nikah umur dua puluh tahun. Kamu sudah ketuaan. Makin tua takutnya makin layu.”

Sabar … sabar, dia ibumu! Kalau bukan, bolehlah kamu maki-maki, katanya dalam hati.

“Ibu, doakanlah anakmu ini supaya dapat jodoh!”

“Mendoakanmu dapat jodoh? Lebih baik Ibu berdoa semoga Ibu saja yang dapat jodoh.”

Laksmi tak tahan lagi, ia segera berlari ke kamarnya setelah membanting sayur bayam yang sedari tadi ia pegang. Ibunya hanya menatap punggungnya sambil menggelengkan kepala.

Hari ini adalah pernikahan ke-100 yang dihadiri Laksmi. Ia bersumpah tidak akan datang ke pernikahan siapa pun juga setelah ini. Cukup sampai angka seratus saja, tidak lebih tidak kurang. Pas. 

Di pernikahan yang keseratus ini, hatinya semakin berwarna kelabu. Hampir menghitam. Air mata memang tidak pernah keluar, tapi sinar matanya menyiratkan kepedihan. Apalagi hari ini, ia memakai gaun kelabu juga. Duduk di kursi di depan pelaminan sambil memandangi kedua mempelai yang saling cubit dan senggol mesra. 

Ah, tenang saja. Teman-teman kurang ajarnya tidak akan datang, karena mereka tidak diundang. Meskipun begitu, sakit hatinya malah bertambah. Bukan apa-apa. Ia hanya harus lapang dada, karena pernikahan kali ini adalah pernikahan ibunya.

Jangan lupa dibagikan, Gengs, kalau menurutmu cerpen tentang jomblo di atas tergolong menarik! Untuk ikut mengirim cerpen ke sini, pastikan kamu sudah mematuhi syarat-syaratnya. Oh ya satu lagi, jangan angkat kisah cinta menye-menye. Aku kurang sreg, hehe. 

Cerpen-cerpen yang Muat di iluvtari

Masih banyak cerpen lainnya, sila cek di Label Cerpen.

3 comments

  1. wah cerpennya bagus kak, menarik banget :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya iya, kalo gak bagus gak dimuat. ehe

      Delete
  2. sial endingnya ih, mengsedih pada Laksmi wk

    ReplyDelete