Pengalamanku Menjalani Kuret Karena Keguguran

Gak pernah terpikir aku bakal mengalami keguguran. Mendengar kata “kuret” rasanya perut sudah ngilu duluan. Tapi yang namanya nasib, siapa bisa mengelak? Mumpung masih lekat dalam ingatan, jadi kutuliskan saja pengalaman kuret keguguran ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

pengalaman kuret keguguran

Rencana Hamil yang Ditunda-tunda

Sebenarnya aku sudah berencana hamil untuk ketiga kalinya di tahun 2019. Sengaja menjarak agak jauh dari anak kedua yang lahir di 2013. Alasannya, agar biaya sekolah gak kejar-kejaran kayak kakak-kakaknya yang pas berjarak tiga tahun. Dan siapa tau, bisa lahir normal. Sebab anak pertama dan kedua sama-sama lahir lewat operasi caesar.

Apa daya, 2019 masih maju mundur, 2020 malah mundur betulan niat itu. Iya, gara-gara pandemi. Khawatir di saat daya tahan tubuh menurun (di kehamilan pertama dan kedua, trimester awal benar-benar sebuah ujian), na’udzubillah terpapar covid-19. Jadi rencana hamil memang resmi kutunda.

Setelah kasus naik turun, kemudian persentase warga yang divaksin sudah cukup banyak (sampai saat ini di kotaku sudah lebih dari 70% warga yang divaksin—sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan herd immunity), maka aku semakin yakin untuk hamil.

Sebenarnya bukan masalah siap gak siap sih, dari Allah juga baru dikasih sekarang. Walaupun dulu agak ogah-ogahan, kalau dikasih ya tetap jadi.kan. Maka sekira pertengahan September, hasil test pack menunjukkan dua garis, yang artinya positif hamil.

Hamil Tapi Haid

Bersabarlah membaca pengalaman kuret keguguran ini, karena aku lebih suka menceritakannya dari awal. Sila di-skip kalau terkesan bertele-tele.

Terakhir menstruasi 7 Agustus 2021. Ketika di bulan berikutnya (dalam rentang 40 hari) tak kunjung datang haid, tanpa test pack pun sudah bisa ditebak, hamil. Tapi ya belum afdhal kalau nggak tes dulu, tetaplah tes juga sampai dua kali untuk memastikan.

Menjelang akhir Oktober, setelah cuci pakaian, antar anak sekolah, dan ngepel rumah, tau-tau aku dapat haid. Sedang hamil kok haid? Nah, di sinilah derita batin dimulai. Setelah cari-cari artikel di Google, chat teman, dll, endingnya tetap konsultasi ke dokter.

Bukan flek atau pendarahan, tapi benar-benar haid! Segala ciri, dari warna darah hingga gejala seperti kram dsb, tetap mengarah ke haid. Kalau kamu sedang hamil trimester awal dan mengalami gejala ini, segeralah ke dokter!

Di IGD, dokter jaga memeriksa kondisiku. Terdengar ia berkonsultasi pada dokter spesialis kandungan lewat telepon. Pada akhirnya aku diberi obat yang katanya untuk mempertahankan kandungan. Dilarang banyak gerak, segala kegiatan sebaiknya dilakukan di tempat tidur.

Besoknya setelah mendapat rujukan dari faskes pertama, aku kembali ke rumah sakit yang IGD-nya kudatangi semalam. Ngomong-ngomong soal faskes, ini juga info kalau aku menggunakan BPJS. untuk kuretase. 

Sebenarnya tidak ada yang istimewa terkait pengalaman kuret dengan BPJS, sama saja dengan pengobatan biasa. Kamu datang ke IGD atau UGD jika dalam kondisi darurat. Dalam keadaan normal, konsultasi dulu ke fasilitas kesehatan pertama, untuk kemudian dirujuk ke RS yang dipilih pasien.

Baik buruknya layanan tidak tergantung pakai asuransi apa, tapi bagaimana manajemen RS itu sendiri. Alhamdulillah sejauh ini baik klinik maupun RS tempatku berobat, sama bagusnya. Nyaman-nyaman saja.

Di poli kandungan, tanpa banyak tanya dokter segera melakukan USG. “Janinnya mati!” kata ibu berkacamata itu.

Ngomongnya lugas tanpa tedeng aling-aling. Pengin kukoreksi, tapi yang dokter kan dia. Belum empat bulan, hidup aja nggak gimana disebut mati. Belum dikasih nyawa oleh Allah, Bu! Kataku dalam hati.

“Usia kehamilan sebelas minggu, tapi ukurannya cuma seperti janin tujuh minggu. Berarti sudah sejak tiga minggu atau sebulan lalu dia berhenti tumbuh.”

Nah itu, gagal jadi anak. Janin tidak berkembang.

“Kamu dirawat, ya. Nanti malam kuret!” Setelah liat aku nangis, baru dokternya agak manisan. “Belum rezeki, Sayang. Tabungan akhirat ….”

Pengalaman Kuret Karena Janin Tidak Berkembang

Ketika dokter kandungan memberi instruksi pada perawat, aku merekam istilah yang ia sebutkan. Laminaria, salah satu yang kuingat. Gak kutanya langsung karena sibuk menata hati. Biarlah nanti rasa penasaranku diobati oleh Google.

pengalaman kuret janin tidak berkembang

Masih dalam kondisi psikis yang kacau, aku harus menandatangani ini itu. Kayaknya istilah kuret, keguguran, dsb itu sudah kelewat lazim seliweran di rumah sakit. Jadi seolah cuma aku dan suami yang berduka. Semua orang bodo amat.

Akhirnya karena stres sebab rasa kehilangan yang sangat, ditambah ribetnya ingus di dalam masker, kubiarkan suami mengurus semua administrasi. Sekian berkas diisi dan ditandatanganinya. Aku menghindari marah pada Allah. Gak pantes!

Pemasangan Laminaria

Di dalam berkas, kubaca juga kalimat “tindakan D&C (dilation and curettage)” yang itu tidak disebutkan oleh para nakes dalam obrolan mereka. Mungkin karena agak ribet nyebutnya, yang pada intinya istilah tsb berarti kuretase atau kuret.

Sementara dari berbagai sumber, kudapatkan bahwa laminaria adalah sejenis rumput laut yang kerap dijadikan obat herbal. Untuk kuretase, laminaria dalam bentuk batang dimasukkan ke dalam leher rahim, fungsinya untuk memperluas serviks sehingga dokter lebih mudah mengambil janin yang gagal tumbuh dari rahim pasien.

Begitu gambar peralatan kuret tampil di Google, buru-buru halaman itu kututup. Gak kurang mengerikan dibanding melihat perangkat dokter gigi. Daripada stres, pasrah sajalah. Mau takut, sedih, atau apa pun perasaan itu, kondisinya sudah begini.

Setelah administrasi beres, aku ditempatkan di ruang VK (verlos kamer) alias ruang bersalin. Dag dig dug membayangkan seperti apa proses pemasangan laminaria. Bayangkan, sebatang benda akan dimasukkan lewat organ vitalmu? Baru membayangkan sudah nyeri, kan!

Menjelang pukul 2 siang, datanglah dokter kandungan yang akan memasukkan laminaria. Padahal baru melihat tiang penyangga kaki di bed itu saja rasanya jantungku pengin kabur. Lagi-lagi cuma bisa pasrah sembari istighfar. Bayangkan dosa-dosa yang berjatuhan, hibur hatiku. Kalau bukan dengan musibah semacam ini, bagaimana mengurangi dosa yang bejibun?

Jauh sebelum kedatangan dokter, perawat sudah memintaku untuk melucuti pakaian dalam bagian bawah. Hari itu aku mengenakan gamis, jadi tak perlu sarung lagi. Begitu dokter datang, kakiku diletakkan pada penyangga, diminta rileks.

Ngomong gampang, tapi praktiknya minta ampun. Entah akunya yang lebay, perasaan waktu itu bukan cuma gak nyaman, tapi sakit banget. Mudah-mudahan kalau ada pembaca yang akan kuret, kamu gak masuk golonganku. Rileks, letakkan pantatnya, begitu pesan dokter.

“Saya terpaksa pakai dua @fkldlxh*g ini!” katanya agak berteriak, waktu laminaria itu kurasa tak kunjung berhasil masuk. @fkldlxh*g ini bukan sensor, tapi aku gak inget dia nyebut apa.

Pada akhirnya, si dokter berhasil juga. Aku merasakan kelegaan luar biasa, meski tulang belulang rasanya rontok, seolah habis bertarung melawan satu dokter dan tiga perawatnya. Syukurnya, hanya bagian inilah masa tersulit dalam pengalaman kuret keguguran yang kurasakan.

Selebihnya hanya suntikan tes darah, swab antigen, dan  pasang-lepas infus, yang terbilang tak terlalu menyakitkan. Oia, ditambah rasa mulas efek dari bekerjanya laminaria di leher rahim. Itu pun hanya mulas ringan yang bikin gak nyaman.

Prosedur Kuretase

Setelah pemasangan laminaria, aku beristirahat sebentar. Kemudian suami datang membawa nasi padang lauk ayam pop, penting amat info gini ditulis! Setelah makan minum, puasa dimulai hingga proses kuretase malamnya.

Menurut berbagai info, laminaria bekerja selama kurang lebih 8 jam. Namun yang kualami, pukul 14 kurang laminaria dipasang, menjelang pukul 20 malamnya aku dibawa ke ruang operasi untuk dikuret. 

Entah aku yang salah hitung, atau ini bagian dari janji dokter untuk sangat berhati-hati mengingat pengalamanku dua kali sectio caesarea, mempertimbangkan rahim yang sudah dua kali dibedah.

Siang, tak lama setelah aku dipindah dari ruang VK ke kamar rawat inap, perawat memintaku mengganti pakaian dengan baju bedah untuk kemudian dipasang infus. Tujuannya agar aku tidak dehidrasi karena harus berpuasa.

Celana dan pakaian bagian bawah masih kukenakan. Tapi menjelang masuk ruang operasi malamnya, semua harus dilucuti, meski saat itu dalam kondisi “haid”. Satu hal yang wajib dilakukan sebelum pemasangan laminaria dan sebelum kuret, harus pipis dulu. 

Tak lupa, sebelum BAK perawat akan mengulang-ulang peringatan, “Kalau melihat kasa atau benang muncul di ‘anu’, jangan ditarik. Biarin aja!”

Pesan itu kuingat baik-baik, karena sebelumnya sempat membaca pengalaman orang lain yang juga dikuret. Saat BAB, si penulis melihat benang kemudian menariknya. Alhasil, proses memasukkan laminaria ke leher rahim diulang lagi. Gara-gara tulisan itu, aku pun berpesan pada diri sendiri, kalau sesak boker tahan ajalah, daripada daripada!

Eits, itu bukan tips ya. Alhamdulillah selama di RS aku gak ada rasa pengin buang limbah. Konon, itu tanda gak betah. Emang ada, orang yang betah di RS?!  

Kalau melahirkan secara sesar kita disuntik di punggung belakang bagian bawah, untuk proses kuretase bius disuntikkan lewat infus. Selain gak ada sakit-sakitnya, pasien pun dibius total. Wajah terakhir yang kulihat adalah seorang ibu yang dengan santai memasukkan bius sambil ngobrol dengan rekannya.

Kemudian waktu terasa berlalu cepat, tau-tau ibu yang sama membangunkanku. “Kuretnya sudah selesai,” katanya. Inilah momen paling wow dalam pengalaman kuret keguguran milikku.

Masih dalam keadaan ngantuk berat, kusadari aku sudah bukan di ruang operasi lagi. Kemudian tempat tidur terasa bergerak, aku dipindah kembali ke ruang rawat. Suami dan perawat memindahkan tubuhku. Kerjalah kalian, aku mau tidur!

Ending (A)Gak Penting

laminaria untuk kuret

Hanya beberapa orang yang kukabari perihal musibah keguguran, untuk minta bantuan doa mereka. Aku cenderung gak suka membagi berita duka di hari yang sama. Bukan sok kuat, justru karena aku gampang nangis, jadi malas kalau ngasih kabar terus orang ramai-ramai memberi ucapan. Malah bikin makin sedih, dan biasanya kepalaku jadi sakit.

Aku lebih butuh didoakan daripada dikasihani. Tapi ngerti kok, maksud orang-orang juga baik. Menunjukkan simpati. Kalau dicuekin, tar makin bapeerrr.

Baru malam kemarin aku dikuret, malam ini (27 Oktober) aku sudah menayangkan artikel baru di blog. Kesannya kayak gak terjadi apa-apa. Padahal kalau hatiku diibaratkan gelas, kemarin sudah hancur habis. Mikir keras, apa yang salah? Aku sudah jaga-jaga makan, gerak, sampai ke skincare, cari yang aman untuk bumil.

Tapi balik lagi semuanya sudah takdir, ambil hikmahnya aja. Btw artikel yang naik adalah artikel yang sudah lama dibuat. Disimpan di draft, menunggu persetujuan klien. Jadi begitu dia bilang yes, langsung posting.

Untuk kamu yang akan melakukan prosedur kuretase dan qodarullah menemukan artikel ini, pesanku pasrah aja! Pasrah gak pasrah, semua harus terjadi. Kalau bisa rileks, ya dibawa rileks. Jangan lupa doa. 

Pengalaman kuret keguguran dialami banyak orang, dan banyak pula di antaranya yang sehat selamat. Semoga kamu termasuk! Untuk pembaca yang belum pernah kuret, mudah-mudahan kamu gak perlu mengalami keguguran karena sebab apa pun. Aamiin.

No comments